SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah banyak terwujud pembangunan infrastruktur dalam membangun negeri. Mulai dari akses transportasi, solusi untuk penanggulangan banjir di berbagai daerah, juga akselerasi perekonomian masyarakat. Tentunya diketahui bersama dari seluruh proyek untuk infrastruktur tersebut, semuanya terbangun di atas tanah dan pastinya membutuhkan tanah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan urusan pertanahan dan tata ruang harus memastikan beberapa aspek dalam proses pembangunan infrastruktur.
“Kami harus pastikan ketersediaan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur tersebut, harus tersedia melalui proses pengadaan tanah,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pembangunan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Embun Sari. Dalam siaran resminya, Sabtu (18/12/2021),
“Selain itu, juga tata ruangnya. Pembangunan harus sejalan dengan tata ruang dan kebijakan tata ruang itu ada di kami. Jadi, kaitan kami ada di penyediaan tanahnya, tentang tata ruang pun harus terintegrasi. Pembangunan itu harus sustainable, tidak boleh mengabaikan lingkungan dan harus sesuai dengan tata ruang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Embun Sari menjelaskan, proses pengadaan tanah ialah untuk memastikan lahan itu tersedia melalui ganti rugi yang layak dan adil. Selama ini, ganti kerugian dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Namun dengan dinamika yang ada, ketentuan tersebut disempurnakan kembali melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Apakah itu diubah, dihapus, atau diatur kembali dalam memastikan pengadaan tanah ini tetap berjalan lancar. Kalau pengadaan tanah berjalan dengan lancar, pembangunan infrastruktur dapat terbangun dan akhirnya, berujung kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tutur Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan.
Proses pengadaan tanah sejatinya melalui tahapan yang panjang. Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan mengungkapkan proses pengadaan tanah melalui empat tahapan, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan hingga penyerahan hasil. Dalam tahapan tersebut juga memerlukan peran banyak pihak, antara lain pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pemangku kepentingan terkait, juga masyarakat itu sendiri.
“Banyak pihak terlibat di berbagai tahapan itu. Panjang memang prosesnya, tapi pemerintah memastikan masyarakat tidak dirugikan dan pembangunan tetap berjalan,” kata Embun Sari.
Salah satu yang terlibat di dalam proses pengadaan tanah serta memiliki peranan yang juga penting ialah para profesional penilai publik dan penilai pertanahan. Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan mengungkapkan, para penilai tersebut adalah orang perseorangan yang secara profesional dapat menilai dan independen.
“Jadi, mereka yang menilai, bukan dari pemerintah, juga bukan masyarakat yang memutuskan. Profesionalah yang menentukan harga dan nilai ini secara adil berdasarkan nilai wajar serta nilai pasar, bukan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak, red),” jelas Embun Sari.
Terakhir, Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan mengungkapkan terkait capaian dalam proses pengadaan tanah, bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
“Berdasarkan data, kita ada 155 proyek strategis nasional yang sudah kita selesaikan pengadaan tanahnya dengan total luas kurang lebih 23.000 hektare, sedangkan yang nonproyek strategis nasional kurang lebih 10.000 hektare. Kita pun pada 2022, harus menyelesaikan sisanya karena pembangunan diharapkan Pak Presiden dapat selesai sampai dengan 2024. Pembangunan kan tidak berjalan kalau pengadaan tanahnya belum selesai,” pungkas Embun Sari. (Agung S).