SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Tokyo, Jepang, yang terkenal dengan budaya unik, teknologi canggih, dan kuliner menggoda, kini tengah menghadapi fenomena yang mengkhawatirkan. Kawasan Taman Okubo, yang terletak tidak jauh dari distrik hiburan Kabukicho di Tokyo, telah menjadi sorotan internasional karena maraknya wisata seks yang melibatkan perempuan muda yang menawarkan jasa seksual kepada turis asing.
Taman Okubo: Dari Tempat Santai Menjadi “Pasar Seks”
Pada malam hari, sejumlah perempuan muda dapat terlihat berjejer di sekitar Taman Okubo, menawarkan diri untuk melayani turis yang datang. Aktivitas ini semakin ramai setelah munculnya video-video viral di media sosial seperti TikTok dan Bilibili, yang memperkenalkan kawasan tersebut sebagai tempat bagi wisata seks. Fenomena ini menarik perhatian turis asing dari berbagai negara seperti Korea Selatan, China, Taiwan, serta Eropa dan Amerika Utara.
Bahasa bukan lagi kendala utama, dengan banyak turis yang menggunakan aplikasi penerjemah untuk berkomunikasi. Salah satu kata yang sering muncul dalam percakapan mereka adalah “Berapa?” — menandakan transaksi yang tengah berlangsung.
“Video-video itu memancing rasa penasaran dan minat turis untuk datang ke sini. Kawasan ini kini menjadi semakin dikenal karena konten viral yang terus beredar,” ujar seorang pengamat media sosial yang tidak ingin disebutkan namanya.
Sisi Gelap di Balik Fenomena Wisata Seks
Namun, di balik tampaknya seperti “pasar bebas” ini, terdapat sisi gelap yang menakutkan. Banyak perempuan muda yang terlibat dalam praktik ini beroperasi secara mandiri tanpa adanya perlindungan, berisiko tinggi mengalami pelecehan, eksploitasi, dan bahkan rekaman tanpa izin yang dapat tersebar di internet. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kenyataan bahwa banyak dari mereka yang tidak dibayar sesuai kesepakatan atau bahkan tidak dibayar sama sekali.
Sistem hukum di Jepang yang tidak memberikan sanksi kepada pelanggan juga memperburuk keadaan. Hukum hanya menargetkan para pekerja seks (PSK), sementara pelanggan yang terlibat dalam transaksi seksual ini tidak mendapat tindakan hukum.
Pandemi dan Peningkatan Jumlah PSK di Jepang
Menurut Arata Sakamoto dari organisasi nirlaba Rescue Hub, peningkatan jumlah perempuan yang terlibat dalam prostitusi di kawasan ini memiliki dampak panjang dari krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan mereka dan terpaksa beralih ke dunia prostitusi untuk bertahan hidup.
“Sepuluh tahun lalu, tidak banyak perempuan Jepang yang terjun ke dunia ini. Namun, pandemi memaksa mereka untuk mencari cara baru demi bertahan hidup, dan bagi beberapa orang, itu berarti menjual tubuh mereka,” jelas Arata.
Organisasinya mencoba memberi harapan bagi para PSK dengan menyediakan tempat aman bagi mereka yang ingin keluar dari lingkaran ini. Di apartemen yang disediakan oleh Rescue Hub, perempuan-perempuan tersebut dapat beristirahat, makan, dan mendapatkan dukungan emosional untuk memulai hidup baru.
Tantangan Hukum dan Peningkatan Patroli
Ironisnya, hingga kini, hukum di Jepang masih tidak memadai untuk menindak para pelanggan yang terlibat dalam wisata seks ini. Banyak pihak, termasuk aktivis hak perempuan, mendesak agar kebijakan segera diubah untuk mengurangi eksploitasi terhadap perempuan yang bekerja di sektor ini.
Pihak kepolisian Tokyo sendiri sudah meningkatkan patroli di kawasan Taman Okubo sejak Desember 2024. Namun, dengan terus berkembangnya konten-konten viral yang mengajak wisata seks, kekhawatiran akan dampak yang lebih luas semakin meluas.
“Kami terus melakukan patroli dan pemantauan, namun masalah ini sangat kompleks. Kami menyarankan agar masyarakat lebih berhati-hati dan mematuhi hukum yang ada,” kata seorang petugas kepolisian Tokyo yang enggan disebutkan namanya.
Meningkatnya Perhatian Internasional
Fenomena wisata seks di Taman Okubo ini juga menarik perhatian internasional, dengan sejumlah laporan yang mengkritik Jepang karena minimnya perlindungan bagi para pekerja seks. Beberapa negara bahkan menyoroti betapa media sosial menjadi pengaruh besar dalam menyebarkan fenomena ini ke kalangan turis internasional.
Meskipun begitu, tantangan untuk mengatasi masalah ini tetap besar. Para aktivis dan organisasi masyarakat sipil berharap agar pemerintah Jepang segera mengambil langkah lebih tegas untuk melindungi perempuan yang terjebak dalam dunia prostitusi.
Fenomena wisata seks di Taman Okubo menunjukkan sisi lain dari kemajuan teknologi dan media sosial yang tak selalu positif. Perubahan kebijakan dan peningkatan perlindungan terhadap perempuan menjadi hal yang sangat mendesak untuk menghindari eksploitasi lebih lanjut di tengah dunia yang semakin terbuka dan terhubung.
(Anton)