SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Polemik Hutang Pemkab Ponorogo Rp. 200 miliar ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) memantik komentar dari salah seorang akademisi, Tatik Sriwulandari S.H, M.H. Menurut Tatik, pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Ponorogo, Agus Pramono, Ketua DPRD, Sunarto dan Ketua Bappeda, Marno dinilai membodohi masyarakat.
‘’Pernyataan Sekda Ponorogo dan Ketua Bappeda tentang polemik pinjaman Rp 200 miliar itu menyesatkan masyarakat. Karena mereka tidak membaca utuh semua undang-undang yang terkait dengan polemik tersebut,’’ kata Tatik, kemarin (1/10).
Menurut Tatik, seharusnya Sekda dan Ketua Bappeda membaca sampai tuntas beberapa undang-undang sebelum memberikan statemennya ke masyarakat. Ada sejumlah pasal yang menurut Tatik terkait dengan kasus ini. Seperti Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2OO4 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2O14 tentang Pemerintah Daerah. Juga Pasal 16 Peraturan Pemerintah 56 Tahun 2018 Tentang Pinjaman Daerah.
‘’Pasal-pasal tersebut masih berlaku dan tidak dicabut oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang pengesahan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020,’’ paparnya.
Lanjut Tatik, dasar hukum yang diungkapkan Sekda, Ketua DPRD, Kepala Bappeda lemah. Sekda dan Kepala Bappeda itu tidak kebal hukum. Mereka tidak masuk bagian dalam kategori Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Corona. Karena mereka tidak masuk dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Jadi mereka bisa dijerat, tegasnya.
Tatik menambahkan, ketiganya dapat dijerat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Khususnya di Pasal 14 yang menyatakan barang siapa menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun.
Juga di ayat 2 menyebutkan : barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun. ‘’Harus diingat itu. Jangan seenaknya mengeluarkan statemen yang bikin gaduh di masyarakat. Itu ancamannya sudah jelas,’’ tegasnya lagi.
Sedangkan terkait dengan proyek infrastruktur hasil dari hutang Rp.200 Miliar ke PT SMI tersebut, paska tahun anggaran 2020, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi bisa menjerat semua yang terlibat. Mulai dari pejabat daerah, anggota DPRD hingga semua rekanan yang akan mengerjakan proyek tersebut.
‘’Jadi jangan macam-macam. Ini ancamannya penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,’’ tegasnya.
Bahkan, lanjut Tatik, jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan saat negara dalam kondisi bencana seperti wabah Corona sekarang ini, ancaman hukumannya bisa hingga hukuman mati. ‘’Ini saya hanya memberikan warning. Jangan sekali-kali bermain dengan anggaran negara. Hukumannya jelas,’’ ungkapnya.
Dalam polemik hutang Rp.200 miliar ini, unsur tindakan melawan hukum secara formil dan materiil sudah terpenuhi. Yakni menguntungkan diri sendiri dan orang lain. ‘’Dicoba dan dibuktikan juga tidak masalah, tegas advokat perempuan ini.
(Ded/tjo; foto ist