SUARAINDONEWS.COM, Jakarta -Ditetapkannya suatu wilayah menjadi Kota Lengkap maka dapat menghindari risiko konflik pertanahan, karena tanah-tanah di wilayah tersebut sudah terdaftar dan aman.
Kota Lengkap memiliki arti pemetaan tanah yang sudah terdaftar keseluruhan secara resmi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan lengkap datanya baik secara spasial maupun yuridis.
Lengkap secara spasial artinya seluruh bidang tanah terpetakan (no gap, no overlap). Sedangkan lengkap secara yuridis, berarti data buku tanah dan surat ukur yang diunggah telah akurat antara dokumen fisik dan elektronik.
Status Kota Lengkap membuat masyarakat dan instansi menjadi aman dalam hal pertanahan. Dengan adanya kota lengkap maka masyarakat menjadi aman dalam hal pertanahan.
Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Bidang Teknologi Informasi Sunraizal dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Urgensi Pembentukan Komisi Agraria Nasional (KAN) sebagai Lembaga Pengurai Masalah Pertanahan” di Jakarta, Rabu, (8/11/2023).
Sunraizal menambahkan, wilayah yang ditetapkan sebagai Kota Lengkap juga dapat berinovasi dengan melakukan digitalisasi data pertanahan serta sertipikat elektronik.
Kantor Pertanahan yang sudah wilayahnya menjadi Kota Lengkap harus berinovasi. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN meminta agar melakukan digitalisasi data pertanahan serta sertipikat elektronik.
“Dengan sistem elektronik, mafia tanah model apa saja sudah tidak mampu menembus dan Kementerian ATR bisa melindungi masyarakat,” kata Sunraizal.
Sebanyak 12 wilayah yang sudah dideklarasikan sebagai Kota/Kabupaten Lengkap, antara lain Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat di DKI Jakarta.
Kemudian, Kota Surakarta dan Kota Tegal di Jawa Tengah, Kota Madiun di Jawa Timur, Kota Yogyakarta, Kota Bontang di Kalimantan Timur, Kota Bogor di Jawa Barat, Kota Metro di Lampung, dan Kota Denpasar serta Kabupaten Badung di Bali.
Meskipun aturan hukum bidang pertanahan sudah cukup banyak, namun persoalan pertanahan tidak kunjung menyusut. Bahkan, secara kuantitatif, jumlah sengketa atau konflik pertanahan terus meningkat.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat pada periode 2018-2020 terjadi 8.625 kasus sengketa dan konflik pertanahan.
Dari jumlah itu, 63,5 persen atau 5.470 kasus yang berhasil diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN. Kendati cukup mencengangkan, jumlah sengketa atau konflik pertanahan yang dicatat Kementerian ATR/BPN tersebut sebetulnya hanya fenomena gunung es (iceberg phenomena), belum mencakup keseluruhan persoalan pertanahan yang sesungguhnya.
Ketua Umum Yayasan Pengawal Etika Nusantara (Yapena) Ahmed Kurnia Soeriawidjaja mengatakan, salah satu penyebab masalah pertanahan tersebut menjadi semakin berat adalah karena adanya mafia tanah yang menyerobot fungsi-fungsi birokrasi pertanahan dari hulu sampai hilir.
Pemerintah sendiri sudah menempuh berbagai macam cara untuk menindak dan mengatasi kemunculan mafia tanah tersebut, terakhir dengan adanya Satgas Antimafia Tanah.
“Dari banyak suara yang sampai kepada telinga Yapena dan disertai analisis, investigasi, serta konfirmasi di lapangan, ditemukan bahwa sejumlah masalah tanah susah diselesaikan karena melibatkan oknum internal birokrasi pada masa lalu dan kuatnya cengkeraman pengembang besar yang telah mengkooptasi oknum-oknum tertentu,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, dengan pelibatan makin banyak pihak dan peranan teknologi informasi dewasa ini, sengketa atau konflik pertanahan makin kompleks.
“Setelah melakukan diskusi secara internal kepada berbagai pihak dari korban mafia tanah, pejabat, pengajar, pakar, ahli hukum, advokat, hakim, aktivis, komisioner, tokoh, dan masyarakat yang memiliki perhatian besar pada penyelesaian masalah pertanahan, maka Yapena menghimpun gagasan dari banyak pihak mengenai urgensi terbentuknya Komisi Agraria Nasional (KAN),” jelasnya.
Komisi ini, kata Ahmed, diharapkan membawa wibawa integritas, kompetensi, solutif, dan koordinatif dalam upaya saling dukung membantu menyelesaikan masalah-masalah pertanahan.
Dalam FGD tersebut terungkap bahwa, untuk mengatasi makin komplikasi dan rumitnya persoalan pertanahan ini, paling tidak perlu dilakukan dua langkah.
Pertama, penyederhanaan (shortcutting) mekanisme penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan. Kedua, mengefektifkan wewenang dan fungsi negara in casu pemerintah bidang pertanahan agar persoalan pertanahan tidak menjadi permainan berbagai instansi. Kedua hal tersebut dapat diwadahi dengan membentuk KAN.
Ia mengatakan, upaya mewujudkan gagasan membentuk KAN ini bisa dimulai dari brainstorming (padu gagasan) tentang urgensi, bentuk, dan kewenangannya.
“Tanpa semangat sinergitas, kekompakan, koordinasi, dan keterbukaan, maka semua niat baik ini niscaya akan terlaksana dengan baik. Nah, dalam rangka bertukar gagasan dan mendapatkan masukan mengenai berdirinya KAN, maka Yapena bersama JPKP dengan mendapatkan dukungan pembiayaan dari PT Pertamina menggelar FGD. Target dari FGD ini adalah untuk merumuskan dan mengkristalkan gagasan serta peta jalan pembentukan KAN,” pungkasnya. (Akhirudin)