SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Masyarakat adat suku Sebyar bersama lima distrik di Kabupaten Bintuni kembali menuntut komitmen pemerintah untuk membayar sisa kompensasi terkait penyelesaian dana hak ulayat terkait hak kesulungan atas sumur minyak dan gas yang diproduksi oleh BP LNG Tangguh atas wilayah hukum adat suku Sebyar, Kabupaten Teluk Bintuni.
Tidak hanya itu, persoalan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang belum menemui titik terang serta pembangunan perumahan yang masih 25 % penyelesaiannya, ikut juga menjadi tuntutan.
Pemenuhan hak masyarakat adat sesungguhnya merupakan amanat UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Terkait hal ini juga, Senator Papua Barat Filep Wamafma meminta agar BP LNG Tangguh dan pemerintah terkhusus Kementerian ESDM segera memberikan kejelasan terkait sisa pembayaran kompensasi tersebut. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban negara memenuhi hak masyarakat adat terhadap sumur minyak dan gas yang telah lama beroperasi di Teluk Bintuni.
“Dasar berfikirnya cukup perhatikan UU Otsus Papua. Konsideran menimbang yang menegaskan bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar,” jelas Senator Papua Barat ini.
Menurutnya, isi konsideran tersebut telah memberi pemahaman restriktif bahwa roh dari kehidupan orang Papua adalah masyarakat hukum adat sendiri, yang harus dihargai dan dihormati martabatnya.
Alasan kedua ialah, pasal 38 ayat (2) UU Otsus. Pada pasal ini ditegaskan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Menurut Filep, pasal tersebut bermakna bahwa semua komitmen yang dilakukan pemerintah/ BP LNG Tangguh yang berkaitan dengan hal tersebut, harus diselesaikan secara bermartabat demi masyarakat adat itu sendiri.
“Persoalan dasar penghargaan terhadap masyarakat adat sejujurnya sudah jelas di dalam Undang-Undang Otsus. Sekarang letaknya pada willingness (keinginan) untuk menuntaskan janji tersebut, ada atau tidak,” tambah Filep.
Jika ditelusuri, BAB XI Pasal 43-44 UU Otsus memberikan satu judul besar yaitu Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang secara umum mengingatkan Pemerintah agar wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat (yaitu hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan) dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
“Jadi, sebenarnya secara regulasi semuanya sudah jelas. Belum diketahui pasti alasan keterlambatan pembayaran sisa kompensasi ini. Apapun itu, hal semacam inilah yang justru membuat relasi masyarakat adat dengan negara dan perusahaan semakin buruk. Sekarang kita menunggu niat baik pemerintah dan LNG Tangguh untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya. (EK)