SUARAINDONEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah memasuki tahap lanjutan di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi (Timus Timsin). Namun demikian, ia menyebut peluang batalnya pengesahan RUU ini tetap terbuka jika tekanan politik dari kelompok penolak mampu memengaruhi arah keputusan partai politik.
“Bisa saja RUU KUHAP ini tidak jadi disahkan kalau para penolak berhasil meyakinkan para pimpinan parpol untuk menarik dukungan. Tapi jika itu terjadi, kita akan terus menyaksikan korban-korban KUHAP 1981 kembali berjatuhan,” ujar Habiburokhman dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Menurut Habiburokhman, hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yakni KUHAP 1981, sudah tidak relevan dan bahkan menghambat keadilan. Karena itu, penggantian undang-undang tersebut dinilainya sebagai kebutuhan mendesak.
Pembahasan RUU KUHAP kini tengah difokuskan pada tahapan redaksional pasal-pasal yang telah disepakati dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah selesai, hasilnya akan dikaji ulang oleh anggota Komisi III melalui Timus Timsin, lalu dilanjutkan ke Panitia Kerja (Panja) untuk pengambilan keputusan tingkat pertama.
“Secara teknis, keputusan di Komisi III memang belum final karena Paripurna masih bisa mengubah. Tapi kami pastikan bahwa seluruh tahapan pembahasan dijalankan secara terbuka, disiarkan langsung, dan dapat diakses publik,” ungkap Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
RUU KUHAP yang disusun memuat berbagai pembaruan reformis. Di antaranya adalah penguatan hak warga negara dalam proses hukum, peningkatan peran advokat, reformasi dalam sistem penahanan, hingga penerapan prinsip keadilan restoratif.
Meski demikian, Habiburokhman tidak menampik adanya kritik dari sebagian masyarakat yang menilai partisipasi publik dalam pembentukan RUU ini belum maksimal. Ia menegaskan bahwa pihaknya tetap berupaya menampung sebanyak mungkin aspirasi dari masyarakat dan para pakar.
“Yang perlu digarisbawahi, mustahil menyerap seluruh aspirasi karena bahkan antaranggota masyarakat pun pandangannya tidak seragam. Bahkan saya sebagai Ketua Komisi III pun tidak semua pandangan saya bisa masuk,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jika pengesahan RUU ini kembali gagal seperti pada tahun 2012, maka Indonesia mungkin harus menunggu lebih dari satu dekade lagi untuk memiliki sistem hukum acara pidana yang baru.
“Pengalaman 2012 membuktikan bahwa kalau gagal sekarang, kita bisa menunggu 12 tahun lagi. Padahal saat ini kita sudah punya draft KUHAP yang sangat reformis dan berkualitas,” pungkasnya.
EK | Foto: Humas DPR RI