SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menegaskan bahwa istilah “beras oplosan” sebenarnya tidak ada dalam aturan resmi. Yang ada hanyalah beras yang mutunya tidak sesuai dengan label kemasannya.
Menurut politisi PKS ini, masyarakat sering salah paham karena istilah “beras oplosan” terdengar negatif, seolah-olah semua beras campuran itu ilegal. Padahal di industri beras, pencampuran jenis beras itu hal biasa dan boleh dilakukan selama kandungan gizinya terjaga dan label kemasan sesuai dengan isi.
“Beras medium sendiri itu hasil campuran antara beras kualitas sedang dengan yang lebih rendah, seperti menir. Menir murni memang tidak layak dimakan, biasanya untuk pakan ternak atau tepung. Tapi kalau dicampur dengan beras sedang, bisa jadi beras medium yang rasanya masih oke,” jelas Riyono.
Ia menambahkan, pencampuran ini bukan cuma soal harga, tapi juga soal rasa. Ada beras yang pulen, ada yang agak keras, ada yang pas untuk jenis masakan tertentu. Pencampuran dilakukan untuk memenuhi selera pasar, dan itu sah-sah saja selama tidak menipu konsumen.
Kritik untuk Satgas Pangan
Riyono menyayangkan narasi Satgas Pangan yang menggunakan istilah “beras oplosan” dalam operasi penindakan. Menurutnya, yang seharusnya ditindak adalah beras yang label mutunya tidak sesuai dengan isi, bukan karena beras itu hasil campuran.
“Kalau labelnya premium tapi isinya kualitas medium, itu baru pelanggaran. Tapi jangan semua beras campuran disebut oplosan dan dianggap ilegal, itu bisa merugikan pedagang dan bikin harga naik,” tegasnya.
Perlu Perbaikan Tata Kelola
Selain soal istilah, Riyono juga menyoroti tata kelola distribusi beras nasional yang menurutnya belum ideal. Ia menilai, pemerintah seharusnya menguasai minimal 50–60% peredaran beras nasional agar bisa mengatur harga dan pasokan dengan lebih baik.
Ia mengingatkan, kebijakan menarik beras campuran dari pasar tanpa pertimbangan matang hanya akan memperparah kondisi.
“Kalau beras-beras itu ditarik, efeknya harga pasti naik. Sekarang saja bantuan pangan sering telat, harga sudah dari Rp12.000 jadi Rp15.000 per kilo. Ini tanda tata kelola kita belum beres,” pungkasnya.
(Anton)