SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Sekitar 16 tahun lalu pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta berencana membangun pelabuhan di sekitar kawasan berikat. Namun, pemerintah tidak ingin ada anggaran negara yang keluar untuk proyek ini.
Pada 2004, KBN mengadakan lelang kepada pihak swasta yang tertarik menggarap proyek ini dan KTU ditetapkan sebagai pemenang. Kemudian dibuatlah perjanjian kerja sama antara KBN dan KTU (Karya Teknik Utama).
Sekitar 2006, kedua perusahaan membuat usaha patungan (joint venture) bernama KCN (PT Karya Cipta Nusantara), untuk membangun dan mengelola Pelabuhan Marunda. Tanpa mengeluarkan dana, KBN mendapat saham 15 persen dalam perusahaan patungan tersebut. KBN hanya bertugas mengurus perizinan dan menyediakan 1.700 meter lahan KBN di bibir pantai sebagai sarana pelabuhan. Sementara seluruh biaya pembangunan dan modal awal KCN menjadi tanggung jawab KTU. Makanya KTU mendapat porsi saham 85 persen.
Setelah izin nanti didapat, baru KCN diberikan waktu pembangunan dua tahun untuk setiap pier. Karena ada tiga pier, jadi enam tahun harus selesai semuanya. Dan pembangunan pelabuhan ini tertunda karena KBN belum bisa menyelesaikan tugas dalam mengurus perizinan. Pembangunan baru bisa dimulai empat tahun kemudian. Pada Juli 2012, KCN mulai mengoperasikan pelabuhan Pier 1 (meski pembangunan terminal ini baru selesai 50 persen, red).
Masalah muncul ketika penggantian direksi baru KBN di tahun yang sama ketika Pelabuhan KCN Marunda mulai beroperasi. Dirut KBN beralih dari Raharjo ke Satar Taba.
Satar Taba menginginkan perusahaannya menjadi pemegang saham mayoritas di KCN. Tapi KCN menolak dengan alasan prinsip awal pembangunan pelabuhan ini tidak menggunakan uang negara.
Singkat kata, KCN pun luluh. Perjanjian kerja sama KBN dan KTU diubah pada Oktober 2014 demi mengakomodir keinginan KBN mendapat 50,8 persen saham KCN. KBN harus membeli 35,8 persen saham senilai Rp. 256 miliar. Namun, setelah satu tahun berlalu, KBN belum bisa menunaikan kewajibannya menyetorkan uang.
Ternyata Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai pemegang saham tidak menyetujui penambahan saham KBN di KCN. Ini tertuang dalam surat Menteri BUMN kepada Direksi KBN mengenai pembatalan setoran modal saham KBN kepada KCN. Surat ini ditandatangani oleh Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah tertanggal 25 Januari 2016. Akhirnya komposisi saham KBN dan KTU di KCN kembali ke asal, yakni 15:85.
Setelah gagal menguasai KCN, KBN ingin 50 persen pengelolaan Pier 2 dan 100 persen Pier 3. Namun, permintaan ini dibatalkan sendiri oleh KBN. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Ham Wiranto dalam suratnya kepada Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta pada November 2017.
Permasalahan KBN dan KCN terus berlanjut, dalam enam tahun terakhir, KBN sudah empat kali menutup akses jalan keluar-masuk kendaraan proyek pembangunan pelabuhan secara sepihak.
Sementara itu, pada November 2017, Kementerian Perhubungan melalui Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas V Marunda, memberikan konsesi Pelabuhan Marunda selama 70 tahun kepada KCN. KBN merasa pemberian konsesi tersebut melawan hukum, dan berpotensi merugikan negara hingga Rp.56 triliun.
KBN pun menggugat hal ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada 9 Agustus 2018, PN Jakut mengabulkan gugatan KBN. PN Jakut menyatakan Perjanjian Konsesi Nomor HK.107/1/9/KSOP.Mrd-16 Nomor 001/KCN-KSOP/ Konsesi/ XI/2016 pada tanggal 29 November 2016, antara Tergugat I dan Tergugat II tentang Pengusahaan Jasa Kepelabuhan pada Terminal Umum PT Karya Citra Nusantara di Pelabuhan Marunda merupakan Perbuatan Melawan Hukum.
PN Jakut menyatakan PT KCN dan Kemenhub Cq Dirjen Perhubungan Laut Cq Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas V Marunda secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian kepada KBN sebesar Rp.773 miliar. Putusan itu kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Dengan putusan ini, KCN tak berhak lagi mengelola Terminal Umum di Pelabuhan Marunda. Hakim Ketua Andi Cakral Alam memerintahkan KCN menghentikan operasi, pembangunan dan pengelolaan terminal tersebut hingga ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Penyerahan konsesi Pelabuhan Marunda kepada KCN memang tak masuk dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11/1991 tentang Penunjukan dan Penetapan Wilayah Usaha Perseroan PT Kawasan Berikat Nusantara. Makanya, Hakim menilai Pelabuhan Marunda berada di bawah penguasaan Kawasan Berikat.
KCN tidak terima dengan putusan hakim karena dinilai tak sesuai dengan fakta-fakta selama persidangan. Keppres 11/1992 tidak menyatakan wilayah Pelabuhan KCN Marunda ada di wilayah KBN. Beleid itu juga hanya menyebut wilayah KBN merupakan daratan. Sementara wilayah konsesi Pelabuhan Marunda awalnya perairan yang direklamasi. KCN pun melakukan banding, meski tetap kalah di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada awal 2019.
Akhirnya, KCN pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan kasasi PT Karya Citra Nusantara (KCN) di sengketa Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara. PT KCN lolos dari denda ganti rugi Rp 733 miliar terhadap PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) karena sengketa itu harusnya diselesaikan di PTUN.
MA telah menunjuk hakim agung Nurul Elmiyah sebagai ketua majelis dan hakim agung Prim Pambudi dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha sebagai anggota.
“Mahkamah Agung ( MA) pada tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan dalam perkara Nomor 2226K/PDT/2019 dengan amar mengabulkan permohonan kasasi Pemohon kasasi I PT Karya Citra Nusantara, Pemohon Kasasi II Kementeterian Perhubungan Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Cq Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan ( KSOP) Kelas V Marunda dan Pemohon Kasasi III PT Karya Teknik Utama,” kata juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Senin (30/9/2019).
MA pun membatalkan putusan PT. DKI Jakarta Nomor 754/PDT/2018/PT.DKI, tanggal 10 Januari 2029, yang menguatkan putusan PN. Jakarta Utara Nomor 70/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Utr, tanggal 9 Agustus 2018 yang mengabulkan gugatan Penggugat. Kemudian MA mengadili sendiri dengan amar putusan menerima eksepsi Tergugat I, II dan Turut Tergugat.
“Menyatakan PN.Jakarta Utara tidak berwenang mengadili perkara a quo. Putusan majelis hakim kasasi tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 dan Pasal 39 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, perjanjian Konsesi a’quo merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ucap Andi Samsan Nganro.
Terkait kelanjutan proyek, KCN menyatakan tetap konsisten membangun pelabuhan Marunda. Hingga kini KCN sudah menyelesaikan 70 persen pembangunan pier II, dengan menelan biaya konstruksi sekitar Rp.3 trilin tanpa menggunakan dana negara. Tetap berkomitmen menyelesaikan pembangunan pier II dan pier III, KCN menargetkan pembangunan Pier 2 dan Peir 3 baru bisa selesai 2023.
Meski memang aktivitas bongkar muat di pier I sudah turun 60 persen, akibat berbagai permasalahan hukum tersebut dan negara akan kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp 200 miliar per tahun, jika kasus proyek Pelabuhan KCN Marunda berlarut-larut.
Pemerintah Turun Tangan
Sebenarnya, pemerintah pun sudah turun tangan menyelesaikan kasus ini, saat gugatan KBN di Pengadilan Negeri Jakarta Utara masih berjalan. Pada Mei 2018 kasus ini dibahas Kelompok Kerja IV Penanganan dan Penyelesaian Kasus yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly.
Pokja ini merupakan bagian dari Satuan Tugas Percepatan dan Efiktivitas Kebijakan Ekonomi yang dikepalai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Rapat Pokja IV dihadiri perwakilan lembaga negara yang terkait, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Polri, Kejaksaan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Perhubungan. Direktur KBN dan Direktur Utama KCN.
Pimpinan Pokja menilai gugatan BUMN terhadap Kementerian Perhubungan seharusnya tidak terjadi, karena sama saja negara menggugat negara. Apalagi, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto sudah pernah memfasilitasi penyelesaian masalah ini pada 2017. Wiranto meminta Menteri BUMN dan Gubernur DKI sebagai pemegang saham KBN mendorong agar pembangunan pelabuhan Marunda Pier 2 dan 3 tetap dilanjutkan demi kepastian investasi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan akan terus mendorong operasional Pelabuhan Marunda KCN bisa berlanjut. Apalagi pemerintah telah menetapkan pelabuhan ini sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Selain masuk dalam PSN yang diprioritaskan pembangunannya, Pelabuhan KCN Marunda juga didorong untuk membantu Pelabuhan Tanjung Priok yang sudah padat. Pemerintah menetapkan pelabuhan ini sebagai terminal khusus komoditas curah yang tidak menggunakan kontainer. Dalam Rencana Induk Kepelabuhanan, Pelabuhan Marunda ditargetkan beroperasi penuh pada 2020.
Aset Negara Tidak Dikuasai Swasta
Kuasa hukum PT KBN Hamdan Zoelva menyebut KBN kini berupaya agar aset negara tidak dikuasai oleh swasta.
“Kita tidak ingin aset negara dikuasai swasta,” katanya seraya menyebut pihaknya sudah berkirim surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta perlindungan hukum dan agar presiden memberikan atensi.
Hamdan menyebut PT KBN Persero adalah perusahaan negara yang sahamnya dimiliki pemerintah pusat 73,15 persen dan Pemprov DKI Jakarta 26,85 persen, yang dipercaya untuk mengelola bibir pantai sepanjang 1.700 meter dari Marunda hingga Kali Blencong.
“Sejak awal kerja sama mengandung masalah karena terdapat indikasi dan usaha sistematis penguasaan aset negara oleh swasta secara curang,” kata Hamdan Zoelva.
Indikasi curang itu antara lain sejak penetapan komposisi saham PT KBN 15 persen dan PT KTU 85 persen, dan menentukan KBN tidak boleh miliki saham lebih dari 20 persen.
Pada 2014 masuk HM Satar Taba, Direksi baru PT KBN yang ditunjuk negara. Taba kemudian meminta legal forensic audit PT KBN dan pemeriksaan khusus oleh BPK, yang hasilnya menemukan banyak pelanggaran hukum dalam kerja sama dengan PT KTU. Akhirnya direkomendasikan untuk menata ulang.
Selanjutnya komposisi saham berubah menjadi 50:50, PT KBN dan PT KTU masing-masing wajib menyetor dana Rp 294.117.700.000, wilayah garapan menjadi hanya 50 persen yang meliputi pear 1 dan setengah dari pear 2, selebihnya dikembalikan ke PT KBN.
“Tapi PT KTU tak pernah menyetor dananya. Pernah setor pagi dan sore ditarik kembali, maka kami anggap itu tidak ada,” kata Hamdan.
(tjo; foto dok