SUARAINDONEWS.COM, New York-Kalau ada pertanyaan, siapakah musisi atau penyanyi Indonesia yang diprediksi akan mampu berkibar di industri musik Amerika tahun 2019? Joey Alexander? Agnez Mo? Rich Brian? Anggun C Sasmi? atau siapa? Kalau dikalkulasi berdasarkan popularitas lewat Billboard, iHeartradio, iTunes hingga The Hype Magazine pada tahun 2018 maka penyanyi yang diperhitungkan akan terus eksis, adalah Agnez Mo! Penyanyi, musisi, pencipta lagu dan artis kelahiran Jakarta, yang kini berjibaku membangun karir di belantika industri musik Paman Sam, antara Los Angeles dan New York.
Single Over Doze yang direlease Agnez featuring Chris Brown pada bulan Juli lalu mampu menembus peringkat musik Billboard ke 28 untuk kategori R&B/Hip-Hop. Inilah pencapaian tertinggi dari artis Indonesia diperingkat musik Amerika. Artinya, Over Doze sudah popular dan wara-wiri di top charts radio-radio Hip-Hop Amerika, digital online musik hingga playlist listener songs lewat jalur-jalur Spotify, Google Play, iTunes, Pandora, SoundCloud dan saluran musik radio internet, iHeartradio. Popularitas Agnez membawanya menjadi salah satu cover majalah bergengsi Vogue US untuk bulan Maret 2018.
Para kritikus musik memuji kegigihan Agnez yang sebelumnya kurang sukses merelease Coke Bottle featuring Timbaland, di tahun 2014. Agnez dianggap mampu bertahan dan membangun brand positioning dan mencuri perhatian, ditengah puluhan artis papan atas sekelas Dua Lippa, Iggy Azalea, Nicky Minaj dan Dej Loaf. Ada juga kritikan yang menganggap keberhasilan Agnez Mo menjadi popular adalah sebuah strategi promosi media untuk mem”push” single terbaru dengan memviralkan, Agnez dihembus-hembuskan berpacaran dengan Chris Brown. “Is she really dating Chris?”, rumors yang bergaung di Hollywood. Sementara website Hollywood Life, mengulas kalau mantan Chris Brown, penyanyi Rihanna cemburu melihat Chris terlihat berciuman dengan Agnez dalam video musik Over Doze. Gossip ini merambat ke publik dan menjadi perbincangan di kalangan selebriti Hollywood.
Rumors Agnez sebagai pacar Chris, juga muncul di kalangan para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika. Suatu kali, saya bertemu dengan seorang mahasiswa keturunan Indonesia di New York, yang bercerita kalau Agnez dan Chris Brown menjadi santapan gossip di kedai-kedai kopi. Obrolan berlanjut, “who is Agnez Mo?” sambil browsing sana-sini, dan jawaban Wikipedia google adalah “Agnes Monica Muljoto (born 1 July 1986), known professionally as Agnez Mo, is an Indonesian singer, songwriter and actress”.
Lalu bagaimanakah efek Agnez Mo terhadap perkembangan musik Indonesia di blantika industri musik Amerika, negeri barometer percaturan musik dunia? Apakah akan berpengaruh terhadap promosi Indonesia (meminjam bahasa birokrasi)? Apakah akan berdampak kepada kemajuan ekonomi kreatif Indonesia (meminjam bahasa birokrasi lagi)? Semua jargon-jargon pertanyaan ini selalu datang dari berbagai sisi kepentingan. Entah kepentingan promosi pariwisata, entah kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan kebudayaan.
November 2017, The Build Series . Sebuah talk show kreatif yang ditayangkan melalui online streming, mengundang Agnez Mo sebagai bintang tamu. Ini cukup mengejutkan, karena hanya orang-orang super kreatif dalam bidang seni, musik, film, teknologi, digital, televisi dan fashion yang diundang dalam talk show ini. Beberapa nama yang pernah menjadi tamu adalah penyanyi legenda Cyndi Lauper, aktris Hailee Steinfeld, Amy Adams, Natalie Portman dan aktor William Dafoe.
Ditengah cuaca super dingin minus celcius dan hujan rintik, pukul 6 sore, dengan modal payung kecil, saya datang ke studio Build Series yang berdekatan dengan kampus New York University. Studio itu tidak terlalu besar, hanya mampu menampung 50 penonton studio. Kru, peralatan produksi, kamera, lighting, audio, semuanya biasa saja. Sama dengan standard studio yang ada diberbagai stasiun televisi Jakarta. Tapi visualisasi menjadi cantik, dengan artistik dan background kaca suasana jalanan kota New York yang padat, macet dan gedung-gedung tinggi. Puluhan media Paparazzi juga terlihat menunggu di luar studio, mencoba keberuntungan untuk wawancara ala door stop saat Agnez keluar studio.
Talk show Agnez Mo berjalan dengan asik, non-formal dan santai. Agnez menjawab setiap pertanyaan dengan ringan dan penuh canda. Tiba-tiba, muncul pertanyaan dari tamu yang hadir “Apakah Agnez akan membawa unsur (seni) Indonesia dalam karya dan penampilannya?”. Jawaban Agnez sangat lugas, “Saya ingin orang mengenal karya saya dan saya sebagai Agnez Mo. Kalau mereka sudah kenal, mereka akan mencari tahu siapa saya, saya asal Indonesia”. Sebuah jawaban yang cukup masuk logika, strategi Brand Positioning sudah tepat dan jitu.
Dan Agnez tidak sendirian. Tanpa harus berbenturan dengan birokrasi dan jargon-jargon promosi Indonesia yang digembar-gemborkan oleh pemerintah, sejumlah musisi Indonesia sudah mengandalkan strategi Brand Positioning yang sama dengan Agnez. Sebut saja Joey Alexander, pianis jazz remaja yang mendunia, dan dibimbing oleh musisi Jazz Wynton Marsalis, atau Rich Brian yang mengguncang panggung hip-hop dan mendapat pujian dari penyanyi Pharell Williams. Keduanya, mengedepankan karya personal tanpa harus terbebani kepentingan nusantara. Kepopuleran mereka secara tidak langsung, justru menaikkan pamor nama Indonesia ke panggung dunia.
Sementara itu, ditingkat musik independen, sepanjang sepuluh tahun terakhir, bermunculan musisi-musisi Indonesia yang terus bergerilya membangun karya sesuai genre dan selera musik Amerika. simakDialog, band progresif Jazz yang dulu dimotori oleh pianis (Alm) Riza Arshad, mampu menembus pasar Amerika. Album Demi Masa dan Patahan yang direlease oleh Moonjune Records, New York, disukai publik pecinta musik progresif fusion. Bahkan album ini sukses di Puerto Rico, mungkin karena simakDialog menggantikan pukulan drum dengan hentakan kendang Sunda, menjadikan musik simakDialog melawan arus mainstream dengan menyatukan komposisi progresif berirama perkusi tradisional. Pertunjukkan simakDialog di Baltimore, Maryland, di sebuah Gudang berkapasitas 250 orang, full house. Penonton rela duduk menikmati konser tunggal selama 2 jam! simakDialog juga diundang untuk wawancara di Radio Universitas Maryland.
Keberhasilan simakDialog tidak lepas dari telinga produser Moonjune Record, Leonardo Pavkovic. Leo, begitu panggilannya, begitu yakin bahwa musik simakDialog akan sukses di jalur industri musik progresif Amerika. Kepekaan telinga Leo kemudian membawa Moonjune untuk merelease album -album musisi Indonesia lainnya seperti Budjana, Tohpati, Dwiki Dharmawan (Pasar Klewer) dan band progesif fusion asal Jogja, I know you well miss Clara.
Di jalur rock, pada tahun 2009, Superman Is Dead (SID) pernah menggoyang Velvet Lounge, U Street, Washington DC. Klub Punk Rock yang berkapasitas seratus lima puluh orang ini penuh dengan fans warga Amerika. SID yang mempunyai komposisi lagu berbahasa Indonesia dan Inggris, mampu menyihir penonton menari headbang di atas lagu Kuta Rock City. Di tahun-tahun berikutnya, penampilan SID ini diikuti oleh penampilan Diskus, Gugun Blues Shelter, White Shoes, Budjana, Dwiki Dharmawan, Balawan, Saykoji, Heidi Yunus, Netta KD, Speker First dan Jogja Hip Hop. Sementara itu, Noah band tampil memukau dipanggung outdoor stage Silver Spring Maryland, dalam festival tahunan Made In Indonesia dengan penonton sekitar dua ribu penonton. Presenter dan penyanyi country Tantowi Yahya, yang saat ini menjadi dubes Selandia Baru, juga pernah tampil memukau dihadapan sekitar tiga ratus penonton dan fans musik country, di jantung kota musik country dunia, Nashville, Tennessee. Tantowi diundang khusus untuk tampil dalam ajang Country Music Awards, ajang penghargaan musik country terbesar di Amerika.
Di panggung rekaman, Krisdayanti mencoba menembus pasar dengan rekaman langsung di studio NRG, Hollywood, LA. Studio rekaman ini sangat popular dan menjadi langganan para musisi dunia seperti Bon Jovi, penyanyi Celine Dion, Miley Cyrus dan band rock, Foo Fighters. Krisdayanti meluncurkan single Sleep To Dream, ciptaan Mateo Camargo yang sering menciptakan lagu untuk Shakira. Lagu bergenre pop dance ini sempat diputar dibeberapa radio di LA, namun belum menembus peringkat Billboard.
Dan pada musim gugur tahun lalu, Hendra Ganarto musisi perkusi dari group DuoPercussion Indonesia meluncurkan single kolaborasi rekaman dengan Sandflower, penyanyi hip-hop asal New York. Single kolaborasi berjudul Oceans ini diaransemen oleh produser musik David Sisko yang pernah menggarap remix penyanyi Justin Timberlake dan Julian Lennon. Kolaborasi musisi dua negara ini digagas oleh Maya Naratama, produser Acha Productions di New York City, yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi musisi Indonesia untuk menembus pasar Amerika. Setelah proses rekaman selama enam bulan, Oceans diluncurkan lewat jalur Spotify, SoundCloud, Google Play dan digital musik lainnya. Maya kemudian membawa Sandflower bersama DuoPercussion tampil di ajang Internasional Indie Music Festival di Jakarta pada akhir September tahun lalu.
Di panggung penonton Diaspora Indonesia, cukup banyak musisi dan penyanyi Indonesia yang pernah tampil. Sebut saja Atiek CB yang kini bermukim di Delaware, Judika, Anang, Elfa’s Singers, Syaharani, J-Flo, Ermy Kulit, Nia Daniati, Saykoji dsb. Umumnya mereka tampil di berbagai acara perayaan 17 Agustus atau kegiatan Diaspora di Los Angeles, Seattle, Chicago, Washington D.C., Philadelphia dan New York. Penonton terbanyak, tentu saja warga diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika. Umumnya para artis ini hadir dengan dukungan dari lembaga pemerintah atau kementrian sebagai sponsor.
Lalu bagaimana dengan musik Dangdut? Hingga hari ini, belum ada satupun penyanyi dangdut Indonesia yang benar-benar mampu menembus pasar musik Amerika. Cengkokan suara melayu dan lantunan suling bambu khas dangdut, hanya menjadi kajian kampus-kampus jurusan seni musik, budaya dan antropologi. Penyanyi Thomas Djorghi, Cita Citata, Ike Nurjanah dan Dorce, beberapa kali tampil, namun kehadiran mereka masih menjadi pengobat rindu para diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika. Belum ada satupun penyanyi dangdut yang mampu menerobos pasar musik LA maupun NY. Sementara proyek Dangdut In America, yang dimotori oleh Rissa Asnan bekerjasama dengan TVRI, mencoba mencari penyanyi dangdut orang Amerika di kota Wilmington, Delaware. Proyek ini masih terus bergerilya menembus celah diantara dominasi musik hip-hop, blues dan country.
Padahal sejak tahun 1991, lagu karya bang H.Rhoma Irama, Begadang 2, sudah masuk dalam album kompilasi Smithsonian Folkways Recordings (SFR) di Washington DC. Bahkan publik bisa mendengar langsung lagu-lagu karya Rhoma lainnya seperti Begadang 2, Sahabat, Qur’an dan Koran, dan Sengaja (dinyanyikan Elvy Sukaesih) lewat laman digital musik SFR. Tidak tanggung-tanggung, foto ikon Rhoma Irama Satria Bergitar dijadikan cover album kompilasi ini. Artinya, dangdut mempunyai potensi untuk masuk dalam peta industri musik Amerika, asalkan muncul dari arus bawah, mengerti pasar dan tidak dipaksakan dengan jargon-jargon birokrasi.
Sementara itu dipanggung Festival SXSW 2018, Maret lalu, Efek Rumah Kaca (ERK) dan Kimokal mengejutkan publik musik milenial yang datang dari berbagai penjuru dunia. Suara tenor vokalis ERK, Cholil dengan komposisi semi progresif rock, mampu menyihir seratus lima puluh tamu yang hadir di bar Esther’s Follies kota Austin, Texas. Walau ERK tampil dengan karya repertoar panjang lewat lagu Merah (13 menit), Biru (7 menit) dan Putih (10 menit), mereka berhasil mengajak pengunjung untuk Sanding Dance di depan panggung.
Hari berikutnya, di panggung Russian House, masih di kota Austin, giliran duo elektronik pop Kimokal tampil dengan sukses. Vokalis Kallula Harsynta Esterlita yang membawakan lagu dengan gaya Repetitive Singing berhasil memikat dua ratus lima puluh pengunjung bergoyang sejak beat pertama dimainkan. Sementara aransemen musik Kimokal memadukan sejumlah genre dari nu wave, techno dance, electronic pop, hingga sync pop. Standing ovation dan tepuk tangan panjang, menggema di dua lagu terakhir, Kimokalyo dan One.
Tahun 2019 ini, tiga musisi Indonesia, Joey Alexander, Rich Brian dan Agnez Mo masih akan terus berkiprah di industri musik Amerika. Jadwal tour Joey Alexander sudah fully booked dari Januari hingga bulan Juni 2019. Bahkan Joey, dijadwalkan untuk tampil di klub jazz paling bergensi, Blue Note, Manhattan, New York. Klub ini hanya memberikan gigs untuk musisi-musisi jazz papan atas seperti Bob James, Dave Grussin, Stanley Clark dan pemain trumpet Chris Botti.
Sementara Rich Brian dan Agnez Mo, selain tampil di berbagai gigs, mereka akan tetap menjadi media darling, sehingga eksistensi musik tetap akan terjaga, terutama dalam media-media digital. Ada juga Anggun C Sasmi, yang masuk ke Amerika lewat peluncuran album di Perancis dan Kanada. Hal yang sama dilakukan Ras Muhammad, penyanyi Reggae Indonesia yang memulai kiprahnya dari negeri pusat Reggae, Jamaica. Ras cukup dikenal dikalangan para fans Reggae di New York dan Brooklyn. Konser-konser tunggal Ras di café-cafe dan klub-klub reggae selalu penuh dengan para fans.
Disisi lain, sejumlah musisi Indie Indonesia akan terus bangkit dan menerobos pasar musik Amerika lewat jalur-jalur musik digital Independen. Setelah tahun lalu sukses dengan tour Amerika, gitaris Metal, Garnaraditya yang juga vokalis dari band Metal AK//47, akan terus berkiprah di pasar musik cadas Amerika. Garna, Musisi asal Semarang yang kini bermukin di California ini, juga dikenal sebagai Videomaker unggul dan mempunyai banyak klien. AK//47 sudah mempunyai fans base yang kuat di berbagai kota West dan East Coast.
Selain AK//47, musisi Monarki Band yang bergenre alternative rock Indonesia ini, tanpa publisitas, ternyata lagu-lagu mereka telah diputar di 365 jaringan radio Amerika, termasuk WDNY dan RockRage Radio di Cleveland, Ohio. Monarki sedang mencari kesempatan untuk bisa tampil di Amerika tahun ini. Penyanyi Irma June, penyanyi yang dua tahun lalu meluncurkan album di Jakarta dan sekarang bermukim di Seattle, Washington, sedang mempersiapkan diri untuk meniti karir di Amerika. Juga Maharasyi, penyanyi berdarah Indonesia yang sempat masuk babak kedua program reality televisi The VOICE, kabarnya juga sedang menyiapkan album di tahun 2019 ini.
Menembus pasar musik Amerika, memang menjadi idola para musisi diseluruh belahan dunia. The Beatles, meluncurkan album pertama kali 22 Maret 1963 dan langsung menguasai peringkat top Chart di Inggris, lewat Please-please me dan Love me do. Tapi band ini belum dianggap sukses sebelum menembus peringkat musik Amerika, US Top Chart. Perlu waktu satu tahun, 1964, akhirnya single I wanna hold your hand berhasil masuk peringkat nomer 1 seantero radio di Amerika. Sejak saat itu, barulah The Beatles diakui sebagai top band dunia yang sejajar dengan Bob Dylan, Simon & Garfunkel dan The Beach Boys. Keberhasilan The Beatles kemudian diikuti oleh Rolling Stones di tahun 1965 dengan single I Can’t Get No Satisfaction.
Jadi, sangatlah wajar bila insan musik Indonesia terus berusaha untuk dapat masuk ke panggung musik Los Angeles, Chicago atau New York. Amerika menjadi idola, dan dianggap sebagai puncak keberhasilan berkesenian seni musik tingkat dunia, dengan harapan “bila sukses di Amerika, maka akan sukses di dunia”. Dan ini sudah dibuktikan, lewat Joey, Rich, Agnez Mo dan Anggun yang sekarang cukup popular di seluruh dunia. Mereka berhasil menunjukkan bahwa musik dan musisi Indonesia bisa dan mampu berbicara di pasar Amerika.
Dalam kiprah perjalanan musik Indonesia di Amerika selama 10 tahun terakhir, sudah cukup banyak celah dan kesempatan dibangun lewat gerilya para musisi independen Indonesia. Mereka berjibaku menembus pasar musik dengan kemampuan independen. Hadirnya musik digital semakin membuka akses distribusi, promosi dan jaringan musik.
Sayangnya, para musisi ini seringkali harus kesulitan memproduksi musik dengan kualitas sound dunia, membangun jaringan dan branding karena kesulitan mendapatkan dana atau sponsor baik dari pihak swasta maupun pemerintah. Disisi lain, Lembaga pemerintah yang berurusan dengan promosi seni, budaya, ekonomi kreatif dan pariwisata mempunyai agenda tersendiri untuk mendukung seni musik di luar negeri. Agenda ini seringkali tidak sejalan dengan gerilyawan musisi Indonesia yang lebih mengedepankan independensi berkesenian, daripada mengutamakan jargon-jargon promosi Indonesia.
Kalau sudah begini, let’s hope and pray. Semoga Efek Rumah Kaca, AK//47, Monarki Band, Speaker First, Kimokal, Jogja Hip-hop, I Know you Well Miss Clara, Ras Muhammad, Speaker First dan puluhan musisi Indonesia tetap semangat untuk terus memajukan musik Indonesia dibelahan negeri Paman Sam.
(Naratama, Produser TV dan Pengamat Musik, New York.
Foto: (courtesy Naratama)