SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Tingginya angka kejadian Kanker Serviks di Indonesia dipengaruhi oleh cakupan skrining yang masih rendah. Hingga tahun 2021, hanya 6,83% perempuan usia 30-50 tahun yang menjalani pemeriksaan skrining dengan metode IVA.
Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Dr.dr. Junita Indarti, Sp.OG(K), di Jakarta, belum lama ini. Menurutnya, pada tahun 2023, cakupan skrining kanker serviks menempati peringkat kedua setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 36.633 kasus atau 17,2% dari seluruh kanker wanita.
“Apabila tidak ditangani dengan efektif, angka kanker serviks meningkat dan menyebabkan beban sosio-ekonomi yang besar serta penurunan kualitas hidup individu,” ujar Prof. Junita Indarti.
Junita menyampaikan pentingnya peran keilmuan obstetri dan ginekologi sosial dalam upaya mengurangi angka penderita kanker serviks di Indonesia.
Di tengah tantangan ini, upaya Indonesia dalam percepatan pencegahan kanker serviks berjalan dengan lima pilar transformasi sistem kesehatan yang mencakup transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Kelima pilar ini dapat mendukung dua strategi pencegahan kanker serviks, yaitu pencegahan primer dengan imunisasi vaksin Human Papillomavirus (HPV) dan pencegahan sekunder dengan deteksi dini kanker serviks.
Metode skrining dan pendekatan pencegahan yang inovatif, menurutnya, perlu dikembangkan agar lebih efektif, terjangkau, dan mudah diakses. Metode skrining kanker serviks yang digunakan di Indonesia adalah IVA, Pap Smear, dan test DNA HPV. Setiap metode memiliki nilai keuntungan dan hambatan masing-masing sehingga perlu diperhatikan mana yang paling sesuai untuk diimplementasikan di Indonesia.
“Metode IVA masih menjadi metode skrining pilihan dengan biaya yang terjangkau dibandingkan dengan tes HPV DNA dan Pap Smear. Namun, kendalanya adalah selain harus melatih tenaga kesehatan, alur tindak lanjut rujukan yang komprehensif juga harus dibuat untuk hasil yang positif. Apabila tidak bisa ditatalaksanakan pada tingkat Fakses 1, pasien harus dirujuk ke rumah sakit dengan alur rujukan yang jelas,” ungkap, Junita, yang aktif di Badan Khusus Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI).
Metode skrining lainnya, kata Junita, adalah tes DNA HPV, yang sudah digunakan di beberapa negara maju karena lebih efektif dalam mendeteksi lesi prakanker. Sensitivitas pemeriksaan DNA HPV sangat tinggi, yaitu 80 hingga 98%. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang belum terlatih atau pasien secara mandiri (self sampling).
Saat ini, telah dilakukan penelitian untuk mengembangkan pemeriksaan DNA HPV pada urin. Pemeriksaan dengan sampel urin ini dapat mengakomodasi pasien yang belum terskrining karena berbagai faktor penghambat.
Pemeriksaan DNA HPV di Indonesia, masih terkendala biaya yang tinggi. Namun, setelah ada pemeriksaan DNA HPV lokal buatan anak bangsa, biaya tes yang awalnya Rp. 600.000 hingga Rp. 800.000,- bisa diturunkan hingga Rp. 149.850. Artinya, untuk memenuhi target capaian 70% cakupan skrining kanker serviks pada tahun 2023, diperlukan dana sekitar 4 trilyun rupiah.
“Mengingat kanker serviks memiliki dampak yang luas, diperlukan regulasi yang lebih tegas, yang mengharuskan perempuan memeriksakan diri secara rutin. Peran Keilmuan Obstetri dan Ginekologi sosial memiliki potensi besar dalam mendukung cakupan skrining kanker serviks, serta mengurangi dampak luas yang ditimbulkan melalui penyusunan strategi berbasis bukti. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, rumah sakit, Puskesmas, organisasi profesi, serta masyarakat menjadi sangat penting demi terwujud kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan Indonesia,” ujar Prof. Junita Indarti. (Ahmad Djunaedi)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari suaraindonews.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Update SuaraIndoNews.com”, caranya langsung klik link https://t.me/update_sindotcom, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.