SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menyayangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang terus menerus dibanjiri protes masyarakat.
“Saya kira tidak wajar bila sekelas Peraturan Pemerintah berkali-kali kecolongan seperti ini,” ujar Fikri di sela masa reses DPR RI di Semarang, Selasa (27/4/2021).
Politisi PKS ini mengungkapkan protes masyarakat terus mengalir pasca penerbitan PP 57/2021 tentang SNP.
“Tidak hanya soal hilangnya kurikulum Pancasila dan Bahasa Indonesia, tetapi paling tidak ada tujuh poin lain yang diprotes dari PP ini yang berasal dari berbagai elemen masyarakat,” ucap Fikri.
Setelah sebelumnya komisi X DPR RI protes soal hilangnya mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai kurikulum wajib di perguruan tinggi, beragam protes lanjutan terkait isi PP 57/2021 kembali mencuat.
Fikri mencatat setidaknya ada tujuh poin lain yang bermasalah di PP yang ditandatangani Presiden RI bertanggal 31 Maret 2021 itu.
Yang pertama adalah soal hilangnya frasa Iman dan takwa dalam Pasal 6 ayat (4) PP tersebut, yang berbunyi: Standar kompetensi lulusan pada Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan tinggi difokuskan pada persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu pengetahLlan, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Padahal menurut UU 20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 3 menyebutkan: Pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
“Frasa beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME sebagaimana tercantum di UU Sisdiknas, menjadi hilang di PP ini,” jelas Fikri.
Hilangnya frasa Iman dan Takwa dalam PP 57/2021 juga diprotes oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (DPP-ADIPSI) melalui siaran pers akhir pekan lalu.
“Kepada Kemendikbud RI untuk mencantumkan frasa beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa ke dalam pasal 6 ayat (4),” demikian bunyi siaran pers DPP ADIPSI.
Selain itu, PP 57/2021 tidak mencantumkan standar Pendidikan bagi jalur informal dan non-formal, padahal telah diamanahkan UU 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 13, bahwa jalur pendidikan terdiri atas Pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Akibatnya, Isu ini memancing protes dari forum Badan Musyawarah Pendidikan Nonformal Indonesia (Bamus PNFI) dan Muhammadiyah.
“Pesan ini banyak beredar di media sosial, dan sebagian disampaikan ke saya,” tutur FIkri.
Pimpinan Majelis DIkdasmen PP Muhammadiyah juga memberikan banyak catatan terkait PP 57/2021, antaralain:
(1) PP No 57 tidak membedakan antara Tenaga Pendidik dengan Tenaga Kependidikan, padahal dalam UU 20 Tahun 2003 BAB XI Pasal 39 disebutkan bahwa Tenaga Kependidikan dan Tenaga Pendidik merupakan entitas yang berbeda dan memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.
(2) Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang berwewenang sebagai Pengembang Standar Nasional Pendidikan dalam PP No 57 ini dihapuskan/tidak dicantumkan keberadaan nya. Sementara di dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3) BSNP sangat jelas perannya dalam pengembangan SNP.
(3) keberadaan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dalam PP No. 57 Tahun 2021 tidak dicantumkan. Usulannya keberadaan LPMP atau lembaga lain utk penjaminan mutu sangat diperlukan krn pendidikan dasar dan menengah sudah didesentralisasikan. Lembaga itu yang akan memotret peta mutu di setiap wilayah
(4) dalam Standar Pengelolaan, PP 57 Tahun 2021 tidak mencantumkan School Based Management/ Manajemen Berbasis Sekolah yang tercantum dalam RPJP, RPJM dan PP mengenai pengelolaan pendidikan yang mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan.
(5) keberadaan Pengawas dalam PP No. 57 Tahun 2021 tidak muncul. Muhammadiyah meminta agar pengawas tetap diperlukan untuk melakukan supervisi klinis yang tidak bisa dialihkan kepada guru maupun kepala satuan pendidikan.
Terkait pengawas sekolah, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) turut mengajukan keberatan dengan dihapusnya nomenklatur pengawas sekolah di PP tersebut.
Fikri menyimpulkan, maraknya protes atas PP 57/2021 telah memicu kegaduhan publik yang tidak perlu, andai saja pemerintah tidak serabutan menerbitkan peraturan.
“Jadi pelajaran ke depan agar libatkan semua pemangku kepentingan, maka revisi PP ini harus cermat dan teliti,” pungkasnya. (wwa)