SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Tahukah Anda tentang komplikasi Diabetik Makular Ederma (MDE)? Hal ini salah satu komplikasi penyakit diabetes yang membahayakan mata dan terjadi pada populasi usia kerja di bawah 50 tahun. Perlu diwaspadai dapat menyebabkan hilangnya produktifitas dan pendapatan.
Menurut Ketua II Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Pusat, dr. Ari Djatikusumo, Sp.M(K), pasien diabetes perlu melakukan tindakan pencegahan agar tidak mengalami komplikasi pada matanya, salah satunya yaitu, Diabetik Makular Edema atau DME.
Bagi pasien DME sendiri harus memahami bahwa DME merupakan salah satu penyakit mata yang perlu mendapatkan pencegahan sedini mungkin.
“DME masih penyakit yang menjadi beban masyarakat. Secara global diprediksi sekitar 93 juta orang berdampak diabetik retinopati dan sekitar 21 juta orang di antaranya menderita DME,” kata dr. Ari Djatikusumo, dalam sebuah diskusi virtual bersama dokter spesialis mata lainnya di Jakarta (11/10-2022).
Dikatakannya, bahwa pasien Diabetes Melitus tersebut diprediksi sekitar 5,5% akan menderita DME. Hal itu tentunya perlu peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat, khususnya bagi pasien DME agar senantiasa memilih pengobatan yang tepat.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. dr. Gitalisa Andayani, Sp.M (K), juga mengatakan bahwa Indonesia saat ini menempati peringkat ke-5 di dunia dengan penderita diabetes terbanyak. Penderita diabetes tipe 1 dan 2, jelasnya berisiko menderita DME dan kehilangan penglihatan. 43% pasien diabetes ini memiliki risiko untuk menderita diabetik retinopati dan 26% di antaranya juga memiliki risiko kehilangan penglihatan.
DME merupakan penyakit mata yang perlu dicegah dengan cara mendapatkan pengobatan sedini mungkin.
“Oleh karenanya, dalam rangka hari penglihatan sedunia tahun 2022, seluruh masyarakat diingatkan akan pentingnya kesehatan mata, yang bisa berdampak pada pendidikan, pekerjaan, kualitas hidup dan kemiskinan,” jelasnya.
Gitalisa menambahkan, pada penderita diabetes, terlalu banyak gula darah yang dapat merusak pembuluh darah kecil di dinding belakang bagian mata (retina) atau bisa saja menyumbat pembuluh darah secara keseluruhan. DME secara umum diakibatkan oleh keadaan hiperglikemia pada pembuluh darah retina yang berlangsung dalam jangka waktu lama pada penderita retinopati diabetik.
“DME sendiri merupakan salah satu gangguan penglihatan berat yang kerap terjadi pada usia produktif (di bawah usia 50 tahun). Pada akhirnya DME mampu menyebabkan hilangnya produktifitas hingga pendapatan. Secara sosial pun, DME akan mempengaruhi hubungan dengan keluarga, komunitas, bahkan dengan masyarakat secara luas, sehingga tak jarang penderitanya mengalami stress,” ujar dr. Gita.
Lalu bagaimana dengan gejala awal DME?
Menurut dokter Gita, biasanya diawali dengan penglihatan yang mulai kabur, kemudian hilangnya warna kontras yang bisa dikenali mata, sampai akhirnya timbul titik buta.
Adapun beberapa faktor risiko DME seperti terjadi pada pasien yang menderita Diabetes Melitus (DM) dalam waktu yang sudah panjang, memiliki riwayat hipertensi dan hiperkolesterol, obesitas, serta tidak mampu mengontrol gula darah.
Oleh sebab itu, lanjut dokter Gita, diperlukan skrining DME, apalagi pada mereka yang telah memiliki riwayat diabetes. Bagi pasien dengan tipe 1 direkomendasikan untuk melakukan skrining 3-5 tahun setelah terdiagnosis DM. Sedangkan untuk tipe 2 perlu dilakukan setelah terdiagnosis DM, lalu dianjurkan untuk melakukan skrining ulang setiap tahunnya. Kemudian diagnosis DME, ditegakkan setelah ditemukan adanya penurunan tajam penglihatan, gambaran khas pada makula dengan pemeriksaan funduskopi dan adanya penebalan makula yang disertai dengan ditemukannya gambaran penebalan makula pada Optical Coheren Tomography.
“Terkait perkembangan penyakit, pasien diabetes melitus bisa mengalami perkembangan penyakit retina, dimulai dari Non Prolifereative Diabetic Retinopathy dari yang ringan hingga berat. Kemudian, dapat berkembang menjadi Prolifereative Diabetic Retinophaty awal, risiko tinggi dan tingkat lanjut. Dalam setiap tahapan tersebut dapat berubah menjadi DME jika kelainan terjadi pada makula dan jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kebutaan,” jelas Dr. Gita.
Sementara itu menurut Dr. dr. Elvioza, Sp.M(K), penanganan terapi DME dapat difokuskan menjadi 2, yaitu kontrol faktor sistemik dan memberikan terapi okuler. Kontrol sistemik bertujuan untuk mencegah retinopati dan progresivitas penyakit dengan cara mengontrol gula darah, tekanan darah dan kadar lemak. Sedangkan terapi okuler bertujuan untuk mencegah kehilangan penglihatan dan memperbaiki penglihatan dengan terapi anti-VEGF, terapi laser dan steroid,” tutur Dr. Elvioza.
Hanya saja, tambahnya, memang banyak tantangan dalam menangani DME selama ini beberapa di antaranya terkait dengan ketiadaan dorongan untuk melakukan skrining secara dini, biaya terapi yang cukup tinggi, kurang optimalnya komunikasi dari penyelia layanan kesehatan dan pasien, tentang biaya dan manfaat obat. Selain itu juga, masih menjadi tantangan besar adalah kerap kali pasien tidak patuh untuk melakukan kontrol dan pengobatan.(Aji)