SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dalam diskusi terbuka yang membahas pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, sejumlah tokoh memberikan pandangan kritis mengenai pentingnya menjaga esensi demokrasi dalam setiap tahapannya. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain Herman Khaeron, Luluk Nur Hamidah, dan Ujang Komarudin, menyampaikan refleksi mereka mengenai tantangan yang dihadapi dalam menyelenggarakan Pilkada yang damai, adil, dan berkeadilan.
Herman Khaeron: Demokrasi Sebagai Pesta Rakyat
Herman Khaeron mengungkapkan bahwa Pilkada sering dianggap sebagai pesta demokrasi rakyat. Ia menekankan pentingnya rakyat dapat menyalurkan hak pilihnya tanpa tekanan atau ancaman, serta bahwa proses demokrasi sejati adalah terbuka dan membebaskan setiap orang untuk memilih sesuai hati nurani.
“Kita harus memaknai Pilkada sebagai pestanya rakyat, di mana rakyat dengan sukacita menyalurkan pilihannya. Para kontestan harus membahagiakan rakyat, bukan justru menciptakan ketegangan,” ujar Herman Khaeron.
Namun, ia juga menyoroti kompleksitas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang kerap membuat proses tersebut menjadi rumit. “Terlalu dekatnya antara Pemilu dan Pilkada membuat berbagai proses menjadi sangat rumit. Kami di internal partai merasakan betapa sulitnya menjalani setiap tahapan ini,” tambahnya. Herman juga mengingatkan pentingnya kedewasaan para kandidat dalam menghadapi persaingan, terutama di Pilkada yang sering kali sarat dengan persaingan personal.
Luluk Nur Hamidah: Menjaga Demokrasi Berkeadilan
Luluk Nur Hamidah turut memberikan pandangannya tentang pentingnya menjaga prinsip-prinsip demokrasi dalam Pilkada serentak yang akan diselenggarakan di seluruh Indonesia. Menurutnya, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa Pilkada berjalan dengan adil dan tidak mencederai kepercayaan publik.
“Kita harus mengawal agar Pilkada ini tidak merusak semangat dan esensi dari demokrasi, yaitu keadilan dan kejujuran. Jangan sampai ada pihak yang bekerja untuk calon tertentu dengan cara-cara yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi,” tegas Luluk.
Ia juga menyoroti pentingnya peran media dan masyarakat dalam mengawasi penggunaan sumber daya negara yang tidak adil, seperti pemanfaatan APBN atau APBD untuk mendukung pasangan calon tertentu. “Ini bisa mencederai suara rakyat secara umum dan menghilangkan rasa keadilan dalam proses demokrasi kita,” tambahnya.
Ujang Komarudin: Tantangan Reformasi Demokrasi
Sementara itu, Ujang Komarudin mengangkat isu mengenai regulasi dan realitas di lapangan yang sering kali tidak sejalan. Menurutnya, banyak pelanggaran yang terjadi selama proses Pilkada, seperti keterlibatan aparat pemerintah yang seharusnya netral namun justru mendukung pasangan calon tertentu.
“Persoalan yang kita hadapi adalah ketidakselarasan antara regulasi dan praktik di lapangan. Banyak kepala dinas atau aparatur yang seharusnya netral, malah menjadi tim pemenangan di tingkat kecamatan atau desa. Ini terlarang, tapi tetap dilakukan,” ungkap Ujang.
Ia juga menyoroti masalah reformasi birokrasi yang menurutnya belum sepenuhnya berhasil. “Reformasi birokrasi selalu digaungkan, tapi tidak pernah benar-benar sukses. Ada masalah dalam penerapan sistem yang seharusnya berbasis prestasi atau keahlian, sehingga birokrasi masih dipenuhi oleh orang-orang yang mendukung pihak tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka,” pungkasnya.
Kesimpulan: Menuju Pilkada yang Lebih Dewasa
Ketiga tokoh ini sepakat bahwa Pilkada serentak di Indonesia merupakan momen penting dalam demokrasi yang perlu dijaga agar tetap berjalan dengan damai, adil, dan berkeadilan. Mereka menekankan perlunya kedewasaan dari para kandidat serta pengawasan yang ketat dari masyarakat dan media untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dijaga dalam setiap tahapannya.
Dengan peran serta semua pihak, diharapkan Pilkada serentak yang akan datang dapat menjadi contoh bagaimana demokrasi bisa dijalankan dengan baik, dan rakyat Indonesia dapat menikmati pesta demokrasi yang sejati tanpa ada tekanan ataupun ancaman.
(Anton)