SUARAINDONEWS.COM, Sorong – Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria telah dilaksanakan selama lebih dari enam puluh lima tahun. Dalam implementasinya, kebijakan ini turut dipengaruhi oleh lahirnya Undang-Undang lainnya, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Cipta Kerja. Terkait dinamika implementasi tersebut, pada Senin, 24 November 2025, Komite I DPD RI melakukan kunjungan kerja ke Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, dalam bentuk pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan pemerintah kabupaten/kota.
Rombongan dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Muhdi, dan diterima oleh Asisten Bidang Pemerintahan dan Desa yang mewakili Gubernur Papua Barat Daya. Rombongan anggota Komite I antara lain Bahar Buasan, Paul Finsen Mayor, H. Ismeth Abdullah, H. MZ. Amirul Tamim, Aanya Rina Casmayanti, Hj. Leni Haryati John Latief, Abraham Lianto, Lamek Dowansiba, Sopater KH. Abdul Hakim, H. Achmad Azran, H. Syarif Mbuinga, dan Bisri As Shiddiq Latuconsina. Dari Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan kabupaten/kota hadir Wakil Bupati Sorong, Wakapolda Papua Barat Daya, Kepala Kantor Wilayah BPN Papua Barat Daya, perwakilan Korem 181, Wakil Bupati Sorong, Wakil Bupati Sorong Selatan, Wakil Ketua DPRD Raja Ampat, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Maybrat, perwakilan perguruan tinggi, serta tokoh masyarakat Kota dan Kabupaten Sorong.
Dalam sambutan, Gubernur Papua Barat Daya yang diwakili Asisten Bidang Pemerintahan dan Desa menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat penting karena menyangkut hak dasar manusia atas tanah dan perkembangan budaya. Pengawasan ini tidak hanya menjalankan tupoksi, tetapi memastikan bahwa tanah sebesar-besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Berbagai tantangan masih terjadi, seperti tingginya konflik tanah, baik antarmasyarakat, antara masyarakat dan perusahaan, maupun konflik akibat proyek strategis nasional. Melalui kunjungan kerja ini, diharapkan ada evaluasi kebijakan pertanahan di Indonesia, penyelesaian sengketa, serta percepatan reforma agraria.
Anggota DPD RI daerah pemilihan Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor, menyampaikan bahwa kunjungan kerja Komite I bertujuan melakukan inventarisasi masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pemerintah daerah, lembaga perwakilan, masyarakat adat, dan suku-suku diminta menyampaikan ide dan aspirasi terkait pertanahan untuk ditindaklanjuti oleh Komite I DPD RI.
Selanjutnya, Wakil Ketua Komite I sekaligus pimpinan rombongan menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merupakan penjabaran dari UUD 1945. Undang-undang ini mengatur dasar penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional. Ruang lingkup UUPA meliputi penguasaan dan pemilikan tanah, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, hak atas tanah, air, dan ruang angkasa, pendaftaran tanah dan sertifikasi hak, serta penyelesaian sengketa agraria. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat distorsi, khususnya pasca lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang melemahkan ruang deliberatif masyarakat adat. Ruang formal menyempit, klaim wilayah adat rentan tumpang tindih, serta muncul risiko perampasan tanah oleh investasi, PSN, maupun rencana tata ruang pusat. Selain itu, terdapat dualisme tata kelola tanah antara kawasan hutan di bawah Kementerian LHK dan non-kawasan hutan di bawah Kementerian ATR/BPN.
Di akhir sambutan, Wakil Ketua Komite I memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya atas respons positif terhadap kunjungan kerja ini. Diharapkan kegiatan ini menghasilkan rekomendasi kebijakan agraria di Indonesia.
Pada sesi diskusi, Kepala Kantor Wilayah BPN Papua Barat Daya menyampaikan bahwa Kanwil Papua Barat Daya masih berinduk pada BPN Papua Barat. Pesatnya pembangunan di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong menyebabkan berkurangnya ketersediaan lahan siap bangun. Di Kabupaten Sorong, keberadaan kawasan khusus menjadi hambatan ketika melakukan legalisasi tanah yang diklaim masyarakat. BPN meminta dukungan Komite I terkait pemetaan dan pendaftaran tanah adat/tanah ulayat agar dapat dimanfaatkan masyarakat dan mencegah konflik agraria.
Wakil Bupati Raja Ampat menambahkan bahwa 80% wilayah mereka merupakan laut dan hanya 20% daratan. Sebagian besar daratan tersebut termasuk dalam kawasan hutan, sehingga menyulitkan pengelolaan dan pemanfaatan ruang. Persoalan agraria bagi masyarakat adat sama dengan wilayah lain di Papua Barat Daya.
Wakil Bupati Sorong Selatan menyampaikan bahwa meski UU Nomor 5 Tahun 1960 telah mengatur pertanahan dengan baik, tanah Papua identik dengan tanah adat sehingga kepentingan masyarakat adat harus dihormati. Diperlukan komitmen semua pihak untuk memastikan masyarakat Papua hidup di atas tanah milik mereka sendiri. Di Sorong Selatan, terdapat 94 ribu hektare HGU yang dimiliki oleh salah satu perusahaan besar.
Wakil Bupati Tambrauw menegaskan bahwa pelaksanaan aturan pertanahan di Papua tidak hanya mengacu pada undang-undang pertanahan, tetapi juga Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Kebijakan transfer keuangan daerah dan mandatory spending juga menjadi kendala bagi daerah dalam melaksanakan program, termasuk kebijakan pertanahan.
Plt. Asisten III Sekda Kabupaten Sorong menyampaikan bahwa konflik agraria telah lama terjadi di Kabupaten Sorong. Bahkan pembangunan sekolah pernah dihentikan karena sengketa lahan. Kabupaten Sorong juga menolak pengembangan usaha sawit karena kekhawatiran dampak lingkungan dan sosial. Pemerintah daerah meminta dukungan Komite I untuk menyelesaikan akar masalah pertanahan di Papua.
Perwakilan Pemerintah Kota Sorong menjelaskan bahwa sebagai kota binaan dalam program strategis nasional, terjadi konflik pertanahan antara pengelola kawasan (Pelindo) dan masyarakat adat. Mereka menilai dibutuhkan peraturan pemerintah khusus terkait hak kepemilikan tanah bagi masyarakat adat.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Papua (MRP) berharap agar personel BPN di Papua Barat Daya direkrut dari putra-putri daerah yang memahami konteks dan karakter sosial budaya Papua.
Seluruh pendapat dan aspirasi ditanggapi oleh anggota Komite I DPD RI, termasuk Bisri As Shiddiq Latuconsina, yang menegaskan perlunya rekomendasi agar kebijakan efisiensi anggaran tidak diterapkan di daerah-daerah otonom baru (DOB). PTSL juga harus memperhatikan tanah ulayat dan dibutuhkan format khusus untuk pendaftaran tanah milik entitas masyarakat adat. Senator Abraham Lianto dan Senator Sopater mengapresiasi tingginya animo pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat dan tokoh adat dalam kunjungan kerja ini. Seluruh aspirasi akan disampaikan dan diperjuangkan sesuai kewenangan Komite I DPD RI.
(Anton)



















































