SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan budaya nusantara yang merepresentasikan keberagaman dan kekayaan khasanah nusantara, adalah cerminan jati diri dan kepribadian bangsa. Untuk melestarikan budaya nusantara dibutuhkan lebih dari sekedar pemahaman dan kesadaran bersama, tetapi juga komitmen kolektif yang kuat untuk menjaga, merawat, dan melindungi budaya dari pengaruh perkembangan zaman.
“Tanpa adanya komitmen kolektif untuk merawat dan melestarikan budaya nusantara, ketahanan budaya kita akan semakin rapuh. Lambat laun kita akan kehilangan satu demi satu identitas kebudayaan kita. Entah karena terabaikan, entah karena diklaim sebagai milik bangsa lain atau hilang pelan-pelan tergilas laju dinamika zaman dan terhempas oleh pusaran peradaban,” ujar Bamsoet saat menjadi keynote speech dalam ‘Mimbar Wawasan Kebangsaan’ yang diselenggarakan MPR RI dengan Universitas Borobudur di Gedung Parlemen Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Hadir antara lain Rektor Universitas Borobudur Bambang Bernathos, Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Faisal Santiago, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat Laksanto Utomo, Ketua Umum Badan Advokasi Konsultasi dan
Bantuan Hukum Majelis Adat Kerajaan Nusantara KMS Herman, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten Eneng Humaeroh dan Alumni Doktor Ilmu Hukum Univ Borobudur Suhardi Somomoeljono.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan kekayaan budaya nusantara, salah satunya tercermin dari keberagaman bahasa. Indonesia tercatat memiliki 724 bahasa, dan menempati posisi kedua sebagai negara yang memilki bahasa terbanyak di dunia. Namun dari jumlah tersebut, 80 bahasa di antaranya saat ini dinyatakan hampir punah, dan 14 bahasa sudah dinyatakan sudah punah.
“Tentunya masih segar pula dalam ingatan kita, ketika beberapa ‘produk’ kebudayaan nusantara, baik berupa kain tradisional, lagu daerah, tarian daerah, seni pertunjukan, dan beragam jenis kebudayaan daerah khas Indonesia lainnya, pernah diklaim sebagai milik negara lain,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, seluruh elemen bangsa dapat pula merujuk pada pengalaman pahit sejarah bangsa Indonesia, di mana penjajahan tidak saja telah menggerus sumberdaya dan menguras sumber kekayaan alam, tetapi juga telah memutus alur dan jejak peradaban bangsa Indonesia. Apalagi, berbarengan dengan penjajahan tersebut, harta dan kekayaan budaya juga terampas, termasuk di dalamnya manuskrip-manuskrip dan kekayaan intelektual dari beberapa kerajaan.
Contoh tergerusnya budaya dan kearifan lokal yang lebih membumi, dapat dirasakan di sekitar kehidupan sosial. Misalnya, mulai lunturnya budaya gotong-royong khususnya di kota-kota besar, melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial, meredupnya budaya sopan santun di kalangan generasi muda bangsa, serta berbagai fenomena sosial lainnya.
“Sampai pada titik ini, rasanya tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa membangun ketahanan budaya, dan memajukan kebudayaan, sudah bukan lagi sebuah kebutuhan. Melainkan telah menjadi suatu kewajiban,” urai Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran ini menambahkan, pentingnya menjaga ketahanan budaya dan memajukan kebudayaan mempunyai dasar pijakan yang kuat, karena diamanatkan oleh UUD NRI 1945. Dalam pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945 dinyatakan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
“Ketentuan tersebut mencerminkan pengakuan adanya dua sisi peran penting kebudayaan, yaitu dalam membentuk jati diri bangsa, dan dalam menyikapi modernitas dan laju peradaban dunia. Amanat konstitusi ini juga mengingatkan kita bahwa upaya melestarikan dan memajukan budaya nasional, akan dikontestasikan dengan beragam paradigma kemajuan zaman yang salah
satunya mewujud pada derasnya arus globalisasi,” pungkas Bamsoet. (Dwi K)