SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Johan Rosihan mengatakan bahwa Hari Pangan Sedunia yang jatuh setiap 16 Oktober, kembali menjadi pengingat bahwa pangan bukan sekadar soal konsumsi, melainkan juga keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan. Bagi Indonesia, momentum ini kian relevan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, laut bukan hanya bentang geografi, tetapi nadi kehidupan jutaan warga.
Namun, di tengah potensi besar sektor kelautan, sebuah kabar mencemaskan datang dari Amerika Serikat. Otoritas setempat menemukan paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang beku asal Indonesia. Temuan ini tak sekadar mencoreng citra ekspor perikanan nasional, tapi juga mengguncang keyakinan publik pada sistem keamanan pangan laut negeri ini.
“Pangan laut kita seharusnya bisa menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Tapi kasus Cs-137 ini justru menunjukkan lemahnya pengawasan dan kebijakan kita,” ujar Johan, dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Anggota DPR RI Komisi IV F-PKS Dapil NTB I (Pulau Sumbawa) ini mengungkapkan, data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB Indonesia mencapai lebih dari 3 persen, dengan nilai ekspor menembus USD 5 miliar per tahun. Udang, tuna, dan rumput laut adalah primadona yang menyuplai kebutuhan protein di dalam negeri maupun pasar global.
Sayangnya, kebijakan pangan nasional masih bias daratan. Fokus pembangunan lebih banyak diarahkan pada padi, jagung, dan kedelai. Padahal, pangan laut memiliki keunggulan gizi dan keberlanjutan yang jauh lebih menjanjikan.
Dalam forum internasional, konsep blue food atau pangan biru bahkan mulai diakui sebagai solusi krisis pangan dan iklim. Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor. “Tapi itu butuh keberanian politik dan arah kebijakan yang jelas,” ujar Johan.
*Lonceng Peringatan dari Cs-137*
Cesium-137 merupakan isotop radioaktif berbahaya yang biasanya muncul dari aktivitas nuklir. Jika masuk ke tubuh manusia lewat rantai makanan, dampaknya bisa fatal: kanker, kerusakan organ, bahkan kematian.
Di tengah gencarnya promosi produk laut Indonesia, temuan Cs-137 di udang beku adalah tamparan keras. Bukan hanya soal ekonomi ekspor yang terganggu, tetapi juga kredibilitas sistem keamanan pangan nasional.
Yang lebih gawat, Indonesia ternyata belum memiliki mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut. Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu belum dilengkapi teknologi pendeteksi isotop berbahaya itu.
“Ini celah besar yang bisa meruntuhkan reputasi pangan laut kita. Dunia sedang mengawasi. Kalau pemerintah tidak transparan, kepercayaan pasar bisa lenyap dalam hitungan minggu,” kata Johan.
Menganggap kasus Cs-137 hanya insiden teknis, lanjut Johan, adalah keliru. Pencemaran laut di Indonesia bukan cerita baru. Banyak wilayah pesisir berbatasan langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, atau pertambangan. Sistem pengawasan kualitas air di daerah pesisir pun masih minim.
Lemahnya sistem _traceability_ atau ketertelusuran produk juga memperburuk keadaan. Asal-usul produk, metode budidaya, hingga jalur distribusi sering tidak tercatat dengan baik. Saat terjadi kasus kontaminasi, penelusuran pun jadi mustahil.
Pemerintah perlu berbenah, mulai dari tata ruang laut, pengelolaan pesisir, hingga regulasi industri di sekitar wilayah perairan. Tanpa pengawasan ketat, kontaminasi serupa bisa terus berulang.
*DPR Minta Reformasi Regulasi*
Di Senayan, Komisi IV DPR mendesak reformasi sistemik. Revisi UU Perikanan, UU Kelautan, dan UU Pangan menjadi salah satu opsi agar aspek keamanan pangan berbasis risiko—termasuk kontaminasi radioaktif—masuk dalam regulasi.
Johan menegaskan, penguatan kapasitas laboratorium uji mutu di pelabuhan utama harus dipercepat. “Banyak lab kita bahkan belum punya alat deteksi radiasi. Bagaimana mau bersaing di pasar global?” katanya.
Selain itu, DPR mendorong alokasi anggaran lebih besar untuk program keamanan pangan laut. Selama ini, porsi anggaran sektor ini masih jauh dari kebutuhan lapangan.
Untuk diketahui, lanjut Johan, krisis Cs-137 juga menghantam nelayan dan pembudidaya kecil, yang selama ini menyumbang lebih dari 90 persen produksi perikanan tangkap nasional. Setiap kali harga jatuh atau permintaan anjlok, mereka yang paling dulu merasakan dampaknya—meski bukan pelaku utama masalah.
Ironisnya, perlindungan untuk nelayan kecil masih minim. Akses ke pembiayaan, asuransi, alat tangkap ramah lingkungan, hingga rantai dingin sangat terbatas. Johan menilai negara wajib memberi kompensasi, misalnya lewat jaminan harga dasar atau insentif khusus, agar nelayan tidak menanggung kerugian sendirian.
“Nelayan harus dilibatkan dalam program pengawasan mutu. Mereka bukan objek, melainkan subjek penting dalam menjaga kualitas laut,” ujarnya.
Untuk memulihkan kepercayaan, sejumlah langkah strategis mendesak dilakukan, antara lain, audit menyeluruh terhadap pabrik pengolahan dan jalur ekspor; penguatan laboratorium uji mutu berstandar internasional; moratorium sementara ekspor dari wilayah bermasalah; serta edukasi luas kepada nelayan dan masyarakat soal keamanan pangan.
Hari Pangan Sedunia tahun ini, tegas Johan, seharusnya jadi momentum revolusi biru: menjadikan laut bukan hanya sumber produksi, tetapi pilar ketahanan pangan berbasis keberlanjutan, keadilan, dan keamanan.
“UUD 1945 sudah jelas, negara wajib menjamin pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Kasus Cs-137 ini pengingat bahwa amanah konstitusi tidak boleh diabaikan,” katanya.
Karena dari laut ke meja makan, yang dipertaruhkan bukan sekadar ekspor, melainkan masa depan bangsa.
(Anton)