SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menyoroti dana pemerintah daerah sebesar Rp234 triliun yang dilaporkan mengendap di perbankan dan belum digunakan untuk pembangunan. Ia menyebut situasi ini sebagai ironi fiskal, mengingat banyak kepala daerah sebelumnya mengeluhkan keterbatasan anggaran.
“Negara menginginkan agar proses pembangunan di seluruh aspek dan wilayah berjalan berkesinambungan. Tapi ironisnya, justru ada Rp234 triliun dana daerah yang tidak terserap,” kata Doli dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Dari Mengendap ke Berdampak: Optimalisasi Anggaran Pemda untuk Pembangunan”, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/10).
Menurut Doli, kondisi ini kontradiktif karena banyak pemerintah daerah masih bergantung hingga 80 persen pada dana transfer dari pusat, tetapi justru menyimpan anggaran dalam jumlah besar di bank.
“Padahal, mereka menuntut tambahan dana dari pemerintah pusat. Tapi dana yang sudah ada saja tidak digunakan secara optimal,” ujarnya.
Transfer Dana Daerah Dipangkas
Sebelumnya, asosiasi gubernur seluruh Indonesia menyampaikan keberatan kepada Menteri Keuangan atas rencana penurunan alokasi transfer ke daerah dalam Rancangan APBN 2026 — dari sekitar Rp900 triliun menjadi Rp600 triliun.
Doli menilai, kebijakan ini berpotensi menimbulkan kesulitan fiskal bagi daerah yang sangat bergantung pada dana pusat. Ia mendesak agar komunikasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan kepala daerah diperkuat untuk menghindari kebijakan yang mendadak.
“Kalau memang terjadi pengurangan, harus jelas apa dampaknya pada sektor pembangunan. Jangan sampai kepala daerah kaget,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya tata kelola keuangan daerah yang transparan agar anggaran benar-benar berdampak bagi masyarakat, bukan hanya berhenti di rekening kas daerah.
Pengamat: “Bukan Prestasi, Tapi Musibah”
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center, menyebut dana mengendap itu sebagai “musibah tata kelola” bagi pemerintahan Indonesia.
“Lucu sekali kalau negara sudah punya uang tapi tidak bisa membelanjakan. Ini bukan prestasi, tapi musibah,” katanya dalam diskusi yang sama.
Menurut Pangi, rendahnya serapan anggaran menunjukkan minimnya kreativitas dan inisiatif pemerintah daerah. Ia mengingatkan bahwa dana publik seharusnya diputar untuk mendorong ekonomi dan kesejahteraan, bukan disimpan.
“Anggaran itu harus menghasilkan, bukan tidur di rekening,” ujarnya.
Pangi juga mengkritisi potensi instabilitas keuangan daerah akibat penurunan dana transfer pusat. Menurutnya, hal itu bisa berimbas pada terlambatnya pembayaran gaji aparatur daerah, terutama bagi PPPK, tenaga harian lepas, dan pekerja kontrak.
“Kalau dana transfer tersendat, gaji bisa ikut macet. Ini tentu berpengaruh pada citra pemerintah pusat,” katanya.
Risiko Manipulasi dan Kejar Target Penyerapan
Pangi menyoroti potensi manipulasi data keuangan di daerah menjelang akhir tahun, di tengah tekanan untuk menunjukkan kinerja penyerapan anggaran.
“Ketika ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerap anggaran, maka mereka bisa saja memanipulasi laporan. Di Indonesia, setiap ada aturan selalu ada akal,” sindirnya.
Ia menegaskan, ukuran kinerja seharusnya bukan pada kecepatan menghabiskan anggaran, melainkan pada manfaat yang diterima rakyat.
“Anggaran bukan untuk ditabung, bukan untuk mengejar prestasi administratif. Tapi untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi daerah,” pungkasnya.
(Anton)




















































