SUARAINDONEWS.COM, Jakarta –Hipertensi atau tekanan darah tinggi seringkali tanpa gejala, sehingga kurang memotivasi seseorang untuk mencari pengobatan dan percaya bahwa tidak ada masalah dengan darah yang tinggi.
Tidak optimalnya penanganan hipertensi diakibatkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan prioritas perawatan kesehatan terfokus kepada pasien anak dan penyakit dengan gejala.
Baru-baru ini terdapat sejumlah ahli kedokteran melakukan konferensi pers perihal gejala, perkembangan, dan penanganan penyakit hipertensi, yang mungkin bisa sebagai pencerahan kepada masyarakat, di Jakarta, Jumat (24/2/2023).
Dokter, Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA dalam kesempatan tersebut mengatakan, hipertensi di Indonesia tidak berkurang dalam satu dekade terakhir.
Hasil survei nasional di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah 34,1%, tidak berbeda dengan hasil survei nasional pada tahun 2007 yang besarnya 34,%.
Tidak berubahnya jumlah penyandang hipertensi di Indonesia menjadi beban berupa tingginya angka kesakitan dan kematian penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal kronik.
“Hipertensi bertanggungjawab terhadap sebagian beban biaya tinggi untuk penyakit jantung pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal di Indonesia,” ujarnya.
Erwinanto, mengemukakan, mengukur tekanan darah dapat dilakukan di rumah atau di pelayanan kesehatan.
Ulangi pemeriksaan tekanan darah setidaknya setiap tahun jika tekanan darah teratur 130-139/85-89 mmHg (tekanan darah normal tinggi) dan lebih sering jika terukur 140/90 mmHg atau lebih (hipertensi).
Jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg berisiko menjadi hipertensi di masa datang.
Sebuah penelitian, katanya menunjukkan risiko menjadi hipertensi 2 tahun ke depan adalah 40% jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg.
Jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, berisiko mengalami penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal yang jauh lebih besar dibandingkan mereka dengan tekanan darah lebih rendah.
Dengan mengetahui tingkat tekanan darah, diharapkan seseorang menjadi lebih sadar untuk melakukan usaha menurunkannya, apabila diperlukan.
Seseorang dianjurkan menurunkan tekanan darah jika terukur 130/85 mmHg atau lebih.
Jika tekanan darah seseorang 130-139/85-89 mmHg, cukup melakukan intervensi gaya hidup seperti berolahraga teratur, menurunkan berat badan, mengurangi asupan garam.
Seseorang mungkin terapi obat jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih.
“Dokter akan memutuskan apakah perlu terapi obat atau tidak,” tandasnya.
Sedangkan menurut pakar kedokteran lain, dr Djoko Wibisono, Sp.PD-KGH, tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.
Hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama seluruh masyarakat di Indonesia, berawal dari kondisi yang sering diabaikan sebagian besar orang yang lebih fatal untuk organ vital seperti otak, jantung, maupun ginjal.
Hipertensi masih menjadi faktor risiko utama penyebab dari stroke perdarahan, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, bakan kematian dini.
Berangkat dari kondisi tersebut, hipertensi sering disebut sebagai “Si Pembunuh Senyap” atau The Silent Killer.
Ia juga mengatakan, hipertensi sendiri terbagi menjadi dalam dua kelompok penyebab yaitu hipertensi primer (esensial) sebanyak 90-95% kasus merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan hipertensi sekunder (5-10%), yaitu tekanan darah tinggi disebabkan oleh penyebab yang mendasarinya antara lain berhubungan dengan tanda-tanda gangguan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar gondok (tiroid), dan penyakit kelenjar adrenal (sebuah kelenjar di atas ginjal yang bertugas menghasilkan hormon), serta konsumsi obat-obatan tertentu.
Tekanan darah tinggi pada hipertensi primer dapat dipengaruhi oleh bebera faktor risiko sperti usia lanjut, obesitas, adanya riwayat hipertensi pada keluarga, konsumsi makanan asin atau tinggi garam (natrium), konsumsi makanan kemasan atau makanan cepat saji, kurangnya konsumsi buah dan sayur, pola hidup sedenter yaitu terlalu banyak duduk dan kurang berolahraga, konsumsi alkohol, serta kebiasan merokok.
Sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi, terutama pada kelompok hipertensi primer tidak memiliki gejala yang spesifik
Gejala klinis baru dirasakan bila kondisi hipertensi telah memberat atau yang telah berkomplikasi. Gejala yang dapat muncul antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran.
Namun demikian, menurutnya, hipertensi dapat dicegah jika dapat dikelola dengan baik yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup.
Hipertensi yang terkelola dengan baik dapat mencegah dan menurunkan risiko kesakitan, komplikasi bahkan risiko kematian dini.
Upaya ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian terapi obat rutin ketika sudah diperlukan. Konsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang.
“Pola makanan dengan meningkatkan konsumsi buah, sayur, dan konsumsi rendah lemak, membatasi konsumsi natrium, yang dianjurkan maksimal 1 sendok teh garam atau setara 5 gram garam dapur dalan sehari, menghindari konsumsi alkohol, tetap mempertahankan berat badan ideal, berhenti merokok, membiasakan untuk beraktifitas teratur, yaitu dengan berolahraha aerobik minimal 30 menit per hari berfrekwensi 5x dalam semiggu,” tambah, Dokter Wibisono, yang juga menjabat sebagai Indonesian Society of Hipertension (InaSH).
Dikatakannya lebih lanjut, upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat.
Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk melakukan menghentikan atau mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur dan buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak merokok.
Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit.
Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini.
Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan kualitas hidup penderita minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung. (Ahmad Djunaedi)