SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Hipertensi dapat menyebabkan gumpalan darah otak mengeras dan aliran darah menuju otak terhambat sehingga memicu terjadinya stroke, mulai dari skala ringan hingga stroke berat yang bisa menyebabkan kecacatan menetap atau mengancam jiwa, jika hipertensi tidak ditangani.
“Masyarakat perlu mengenali dan mengendalikan tekanan darah sendiri untuk menghindari penyakit berbahaya yang tidak diinginkan,” kata dr.Eka Harmeiwaty, Sp.S dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta (31/8/2022).
Menurut dokter Eka Harmeiwaty, hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian stroke. Setiap kenaikan tekanan darah sistolik 2 mmHg akan meningkatkan risiko stroke 10% pada orang dewasa. Hipertensi sendiri ditemukan pada 64-70 kasus stroke.
Secara mekanisme, tekanan darah tinggi pada dasarnya menyebabkan kerusakan sel dinding pembuluh darah (sel endotel) dan mengganggu fungsi dari otot di dinding pembuluh darah nadi/arteri. Kondisi ini dapat membuat menjadi kaku dan tersumbat. Bila arteri yang tersumbat ada di bagian otak, hal ini akan membuat otak tidak mendapatkan aliran darah dan oksigen yang cukup. Akibat dari itu semakin lama banyak sel/jaringan otak yang mulai mati.
Hal ini membuat seseorang berada pada risiko stroke yang jauh lebih tinggi. Kerusakan endotel dan lapisan otot pembuluh darah arteri karena hipertensi juga dapat menyebabkan penipisan dinding pembuluh darah arteri di otak yang dapat menyebabkan arteri bisa atau mudah pecah dan menyebabkan perdarahan di otak.
“Penanganan hipertensi itu kompleks, jadi perlu partisipasi masyarakat. Pasien hipertensi harus selalu minum obat. Kurangi garam dan sebelum mekonsumsi makanan harus kita lihat kadar garamnya. Sebagai contoh makanan cemilan yang biasanya banyak kadar garamnya untuk pengawet yang tinggi. Selain itu dengan pola makan sehat dan berolahraga,” ujarnya kepada Suaraindonews.com.
Lebih lanjut dikatakannya, World Health Organization, pada tahu 2021 melaporkan, bahwa terdapat 1,4 milyar penduduk dunia hidup dengan hipertensi. Hanya 14 % memiliki tekanan darah terkontrol. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018, menunjukan prevalensi hipertensi 34,31% dan hanya 8,8 % yang terdiagnosis, 13 % yang tidak minum obat, serta 32,3 % yang minum obat namun tidak teratur. Kondisi ini hampir sama dengan hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Perhi).
“Pasien tekanan darah yang tidak terkontrol pada 2017 menunjukkan 62,8% terdapat di daerah urban, dan pada tahun 2018 mencapai 78% mencakup daerah urban dan rural,” jelasnya.
Hipertensi menurutnya, merupakan penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan. Jika tekanan darah seseorang sudah mencapai target bukan berarti dia sembuh, tapi terkontrol. Kalau sudah terkontrol maka diharapkan bisa menghindari komplikasinya. Salah satunya kerusakan otak seperti stroke. Kejadian berhubungan dengan lama paparan, usia dan adanya risiko penyakit kardiovaskuker seperti diabetes.
Emisi dari kendaraan bermotor merupakan penyeban utama (lebih dari 90%) polusi udara di daerah urban. Dalam jangka lama, polusi udara akan meningkatkan risiko stroke iskemik dan stroke perdarahan. Serta beberapa gaya hidup yang meningkatkan risiko hipertensi, yang merupakan faktor penyebab stroke juga.
“Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik kurang lebih 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Salah satu yang menjadi tantangan dalam penanganan hipertensi adalah pasiennya kadang tidak sadar kalau mereka mengindap hipertensi dan baru ketahuan saat tekanan darah sudah di angka yang sangat tinggi.
Terkait pengobatan hipertensi untuk mencegah stroke, selain pencegahan primer, pencegahan sekunder juga tidak kalah penting. Penelitian acak terkendali menunjukkan bahwa pengobatan dengan obat anti-hipertensi dapat menurunkan risiko stroke hinggak 32%. Beberapa golongan obat dimasukkan sebagai lini pertama yaitu golongan Calcium-channel blockers, Anti Conveting Enzym Inhibitor atau Angiotensinogen Receptor Blocker dan beta blocker.
Sementara itu, menurut Medical Affair Divisi Pharmaceuitcals Bayer Indonesia, Dr. Gunawan Purdianto, menyinggung terkait pengobatan hipertensi, bahwa pihaknya berkomitmen terhadap kesehatan pasien dengan terus menerus menyediakan akses yang luas bagi pengobatan hipertensi bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satunya dengan ketersediaan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan reguler.
Bayer Indonesia meyakini bahwa prioritas utama pada pasien adalah kepatuhan pasien dalam pengobatan penting untuk dilakukan. Hal ini memotivasi Bayer dalam menciptakan solusi terbaik melalui obat-obatan yang inovatif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. (Aji)