SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Sorotan tajam kembali datang dari Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid, soal pelaksanaan haji tahun ini. Dalam forum Dialektika Demokrasi yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Hidayat mendesak agar ada reformasi total dalam regulasi dan penyelenggaraan ibadah haji, menyusul banyaknya keluhan dari jemaah dan tim pengawas haji.
“Arab Saudi punya Kementerian Haji, sedangkan kita ke depan hanya badan. Ini tidak setara dalam konteks komunikasi antarnegara. Maka, revisi regulasi harus menyasar juga pada lembaga yang berwenang mengurus haji dan umrah,” tegas Hidayat, mengkritik rencana peralihan kewenangan dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji mulai 2026.
Masalah demi masalah bermunculan. Mulai dari pemisahan suami-istri dalam satu kloter, koper jemaah yang tak kunjung sampai, hingga insiden tragis jemaah tersesat di gurun karena salah rute. Semua ini dinilai sebagai sinyal bahwa ada yang salah dalam sistem.
“Jumlah jemaah wafat tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Salah satunya karena pelayanan kesehatan tidak maksimal akibat berkurangnya tim medis,” ungkapnya, menyebut fakta miris yang tidak bisa dianggap remeh.
Tak hanya itu, Hidayat juga menyoroti soal Visa Furoda dan tanazul yang dibatalkan secara mendadak oleh pemerintah Arab Saudi. Ia menyesalkan lemahnya diplomasi Indonesia yang menyebabkan ribuan calon jemaah dan travel agent menderita kerugian besar.
“Ketika Visa Furoda dibatalkan tiba-tiba tanggal 26 Mei, banyak jemaah dan travel yang sudah membayar ratusan juta rupiah. Ini kerugian besar yang bisa dicegah jika komunikasi antarotoritas berlangsung terbuka dan tepat waktu,” katanya dengan nada kecewa.
Dalam diskusi yang sama, sejumlah catatan penting juga dilontarkan oleh peserta forum. Salah satunya adalah kartu identitas yang belum jadi saat jemaah tiba di Saudi, hingga menyebabkan mereka tak bisa masuk Masjidil Haram — lokasi inti pelaksanaan ibadah haji selain wukuf di Arafah.
“Kalau kartu belum jadi, jemaah tidak bisa masuk Masjidil Haram. Ini fatal. Masjidil Haram itu pusat ibadah haji!” ujar salah satu narasumber yang juga praktisi media haji.
Soal layanan transportasi pun tak luput dari kritik. Banyak jemaah yang terlantar karena bus datang terlambat hingga dini hari. Bahkan, sistem sarikah (pengelompokan kloter) disebut menyebabkan pemisahan antara suami istri dan lansia dengan keluarganya.
“Ada yang menyarankan cukup dua atau tiga sarikah saja untuk menghindari perpisahan keluarga, apalagi bagi lansia. Ini masalah teknis tapi dampaknya luar biasa,” jelas peserta diskusi lainnya.
Kondisi pemondokan atau marhab pun turut dikritisi. Beberapa pengawas menilai tempat tinggal jemaah tidak layak, bahkan tidak manusiawi. Ini dianggap mengurangi kekhusyukan ibadah dan membahayakan kesehatan jemaah yang sebagian besar lanjut usia.
“Kalau hotel tidak layak, kenapa tidak disalurkan ke layanan transportasi daring seperti Grab untuk alternatif? Jangan sampai jemaah menderita hanya karena kelalaian pengelolaan,” tegasnya.
Menjawab polemik visa Furoda, muncul juga pertanyaan dari sisi hukum Islam. Jika jemaah sudah istitha’ah (mampu) secara finansial dan administratif, tapi tetap gagal berangkat karena regulasi yang berubah mendadak, siapa yang harus bertanggung jawab?
“Haji itu wajib. Kalau semua syarat sudah dipenuhi tapi gagal karena kartu tidak keluar, apa jemaah tetap berdosa? Ini tanggung jawab siapa? Saudi atau Indonesia?” ucap salah satu peserta, menggambarkan dilema batin jemaah.
Sebagai solusi jangka panjang, Hidayat mengusulkan agar Indonesia memperjuangkan perubahan formula kuota haji di tingkat OKI, dari 1 jemaah per 1.000 penduduk menjadi 2 per 1.000. Menurutnya, ini adalah langkah strategis yang bisa mengurai antrean haji Indonesia yang kini semakin panjang.
“Jumlah umat Islam sudah jauh bertambah, infrastruktur Saudi juga sudah jauh lebih baik. Ini saatnya kuota diperbarui. Kalau kita dorong formula 2 per 1.000, antrean bisa turun dari 20 tahun jadi 10 tahun,” pungkasnya penuh harap.
Untuk jangka pendek, Indonesia juga sedang menjajaki kerjasama diplomatik dengan negara anggota OKI yang kuotanya tidak terpakai, seperti Kazakhstan, agar jemaah Indonesia bisa tertampung melalui jalur alternatif.
“Kita tidak boleh terpaku hanya pada kuota nasional. Strategi regional melalui kerjasama OKI harus diperkuat,” tandas Hidayat, yang tampaknya tidak ingin Indonesia kembali mengalami kisah pilu seperti tahun ini.
(Anton)