SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Habib Syarief Muhammad, menilai tayangan Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren tidak menggambarkan realitas sebenarnya. Ia menilai, pemberitaan tersebut bersifat parsial dan gagal memahami nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan pesantren di Indonesia.
“Pesantren sudah ada sejak masa para Wali Songo. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berkembang pesat sejak abad ke-17. Kalau ada tayangan yang menampilkan pesantren secara tidak utuh, itu bentuk ketidakpahaman terhadap sejarah dan kultur pesantren,” ujar Habib Syarief dalam forum Dialektika Demokrasi bertema “Antara Tradisi dan Modernitas: Mampukah Pesantren Bertahan” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, pesantren tidak bisa dipahami hanya dari sisi ekonomi atau modernitas semata, karena di dalamnya terkandung nilai spiritual dan moral yang sangat kuat.
Habib Syarief menuturkan, peran kiai di pesantren sangat sentral — bukan sekadar pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual yang berkhidmat sepanjang waktu. Ia menegaskan, sebagian besar pesantren di Indonesia tidak memungut biaya pendidikan tinggi dari para santrinya.
“Kiai tidak digaji, dan banyak pesantren yang hanya memungut biaya makan sekitar Rp200 ribu per bulan tanpa uang sekolah. Pesantren seperti Lirboyo, misalnya, dari 40 ribu santri, sekitar 20 persen belajar secara gratis,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kehidupan pesantren tidak bisa diukur dengan logika ekonomi. “Ada nilai ikhlas, tawadhu, dan barokah yang tidak bisa diterjemahkan secara duniawi. Figur kiai itu bukan hanya pemimpin dunia, tapi juga pemimpin akhirat,” tegasnya.
Menyoroti polemik tayangan Trans7, Habib Syarief menilai tim produksi seharusnya melakukan riset mendalam sebelum menayangkan konten yang sensitif. Menurutnya, banyak pesantren dan alumni yang dapat dijadikan sumber valid untuk menjelaskan kehidupan pesantren yang sesungguhnya.
“Kalau mereka bertanya pada dua atau tiga alumni saja, pasti akan tahu bahwa gambaran dalam tayangan itu tidak benar. Saya tidak menolak tayangan itu, tapi sayang sekali, tidak berhasil memotret pesantren secara utuh,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, mayoritas pesantren berdiri mandiri tanpa sokongan besar dari pemerintah. “Mungkin hanya 20 persen yang mendapat bantuan negara. Selebihnya murni dari kekayaan pribadi kiai atau warisan keluarga,” jelasnya.
Dalam pandangan Habib Syarief, pesantren tidak hanya mendidik santri dalam bidang keagamaan, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian luhur. Ia menuturkan pesan gurunya di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang melarang santri menentukan tarif ceramah.
“Guru saya bilang, begitu kamu menentukan nominal amplop, saat itu juga ilmu menghilang. Itu bentuk pendidikan akhlak yang tidak ditemukan di lembaga lain,” kata Habib Syarief.
Ia menambahkan, penghormatan kepada guru, hidup sederhana, dan ketulusan dalam mengabdi adalah nilai-nilai khas pesantren. “Cium tangan itu bukan simbol feodalisme, tapi wujud takzim dan hormat,” tambahnya.
Menutup paparannya, Habib Syarief meminta media massa lebih bijak dan berhati-hati dalam menayangkan konten tentang pesantren. Ia menyarankan agar jurnalis dan produser televisi melakukan pendekatan langsung kepada kiai dan santri agar memahami kultur pesantren secara utuh.
“Kalau ingin memahami pesantren, datanglah langsung ke kiai, lihat bagaimana mereka hidup dan membimbing santri. Banyak literatur akademik dan karya Gus Dur yang bisa dijadikan rujukan. Pesantren adalah benteng moral bangsa,” pungkasnya.
(Anton)




















































