SUARAINDONEWS.COM, Sumbawa Besar – Fraksi PKS MPR RI bekerja sama dengan Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) menggelar Lokakarya Akademik Penguatan Tata Kelola Sumber Daya Alam (SDA) di Neo Garden Hotel, Sumbawa Besar, Ahad (30/11). Kegiatan tersebut menghadirkan Bupati Sumbawa, pejabat kementerian, akademisi, peneliti, serta tokoh adat untuk membahas integrasi nilai lokal dalam kebijakan pengelolaan SDA.
Bupati Sumbawa, Ir. H. Syarafuddin Jarot, M.P., membuka kegiatan ini secara resmi. Dalam sambutannya, Bupati H. Jarot menegaskan bahwa nilai luhur Takit Ko Nene’, Kangila Boat Lenge bukan sekadar semboyan budaya, tetapi kompas moral masyarakat Samawa yang mengajarkan ketakwaan, rasa malu melakukan keburukan, serta amanah menjaga alam.
Ia menyoroti relevansi kearifan lokal tersebut di tengah krisis iklim, kerusakan hutan, dan ancaman ekologis global. Menurutnya, ruang dialog yang diprakarsai LATS ini penting untuk menyinergikan pemerintah daerah, lembaga adat, akademisi, masyarakat sipil, serta kebijakan nasional.
H. Jarot menegaskan visi besar Pemerintah Kabupaten Sumbawa lima tahun ke depan yaitu Sumbawa Hijau dan Lestari. Visi ini diterjemahkan dalam berbagai program konkret, antara lain Gerakan Penanaman 1 Juta Pohon Sumbawa Hijau, Gerakan 1 ASN 1 Pohon, Gerakan 1 Siswa 1 Pohon, Program Tanam Pohon Dapat Sapi, dan Penanaman tanaman ekonomi produktif seperti kopi, kemiri, porang, sengon laut, dan tanaman bernilai tambah lainnya.
“Langkah-langkah ini adalah investasi jangka panjang untuk stabilitas ekologis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kearifan Takit Ko Nene’, Kangila Boat Lenge menemukan momentumnya sebagai dasar kebijakan publik yang menjaga harmoni manusia dan alam,” jelasnya.
Sekretaris FPKS MPR RI, H. Johan Rosihan, ST, tampil sebagai keynote speaker. Dalam paparannya, ia menekankan perlunya memasukkan nilai adat Taket ko Nene, Kangila Boat Lenge ke dalam kerangka tata kelola SDA di Sumbawa. Ia juga menyoroti kejadian banjir dan longsor di beberapa wilayah Sumatera dan Aceh sebagai peringatan atas pentingnya perbaikan tata kelola lingkungan.
“Pengelolaan SDA harus memperhatikan nilai lokal dan prinsip kehati-hatian agar daerah tidak mengalami kerusakan ekologis,” ujar Johan.
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, Julmansyah, memaparkan capaian nasional penetapan Hutan Adat. Hingga Oktober 2025, terdapat 164 unit Hutan Adat seluas lebih dari 345 ribu hektare yang memberi manfaat bagi sekitar 87 ribu keluarga. Ia menyebut pengakuan Hutan Adat berperan dalam menjaga ekosistem, sumber air, serta mencegah konflik tenurial.
Perwakilan LATS, Aries Zulkarnaen, menyampaikan bahwa nilai budaya Taket ko Nene, Kangila Boat Lenge memiliki dasar moral dan spiritual yang dapat menjadi pedoman pengelolaan lingkungan. Ia menilai nilai tersebut perlu diimplementasikan dalam tata ruang dan kebijakan pengelolaan hutan serta air.
Sementara itu, peneliti BRIN, Rusli Cahyadi, Ph.D., memaparkan hasil kajian antropologis mengenai perubahan nilai lokal di Sumbawa akibat tekanan sosial, ekonomi, dan modernisasi. Ia menilai revitalisasi nilai adat diperlukan untuk menguatkan tata kelola SDA dan meminimalkan konflik pemanfaatan ruang.
Lokakarya ini menghasilkan sejumlah rekomendasi awal, antara lain penyusunan Naskah Akademik Integrasi Adat Samawa, pemetaan ilmiah wilayah adat, penguatan kebijakan tata ruang berbasis nilai lokal, serta pengembangan model pengelolaan SDA yang melibatkan komunitas adat, akademisi, dan pemerintah daerah.
Kegiatan berlangsung sepanjang hari dan menjadi bagian dari rangkaian upaya LATS dan Fraksi PKS MPR RI untuk memperkuat peran adat dalam pengelolaan SDA di Sumbawa.
(Anton)




















































