SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Miliarder teknologi Elon Musk baru-baru ini mengumumkan akan memberikan hadiah senilai US$ 1 juta, atau sekitar Rp 15,45 miliar per hari, kepada pemilih terdaftar di beberapa negara bagian penting dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS). Namun, langkah ini menuai kritik tajam dari para ahli hukum pemilu yang menilai inisiatif Musk dapat melanggar hukum.
Dilansir dari CNN Internasional, Senin (21/10/2024), Musk membuat pernyataan tersebut saat berkampanye untuk mantan Presiden AS Donald Trump di Harrisburg, Pennsylvania, pada Sabtu lalu. Ia mendorong para pemilih di negara bagian medan pertempuran, seperti Pennsylvania, Georgia, Nevada, Arizona, Michigan, Wisconsin, dan North Carolina, untuk menandatangani petisi yang mendukung amandemen konstitusi terkait kebebasan berbicara dan hak memiliki senjata.
“Kami akan memberikan US$ 1 juta secara acak kepada orang-orang yang telah menandatangani petisi, setiap hari, mulai sekarang hingga pemilihan,” kata Musk dalam pidatonya. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah pendaftaran pemilih hingga 2 juta orang.
Namun, ide Musk tersebut memicu kekhawatiran di kalangan ahli hukum pemilu. Undang-undang federal AS melarang memberikan uang atau imbalan kepada orang-orang untuk mendaftar sebagai pemilih atau untuk memengaruhi pilihan mereka dalam pemilihan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenakan hukuman hingga lima tahun penjara.
Derek Muller, seorang profesor hukum pemilu di Sekolah Hukum Notre Dame, menyatakan bahwa pemberian hadiah terbatas hanya kepada pemilih terdaftar menimbulkan kekhawatiran terkait penyuapan. “Ketika hadiah hanya diberikan kepada mereka yang telah mendaftar atau memilih, itu bisa dianggap sebagai upaya penyuapan,” jelas Muller.
Senada dengan Muller, David Becker, mantan pejabat Departemen Kehakiman AS, juga mengkritik keras tindakan Musk. “Ini jelas merupakan pelanggaran yang ingin dicegah oleh undang-undang,” kata Becker. Ia menambahkan, hadiah ini terbatas pada pemilih terdaftar di tujuh negara bagian medan pertempuran yang sangat menentukan hasil pemilu presiden, yang menurutnya dapat menjadi bukti bahwa Musk bermaksud memengaruhi pemilihan.
Ahli hukum dari Fakultas Hukum UCLA, Rick Hasen, menyebut undian berhadiah Musk sebagai bentuk “pembelian suara yang ilegal.” Dalam blognya, Hasen merujuk pada buku panduan Departemen Kehakiman AS tentang kejahatan pemilu, yang secara jelas melarang penawaran hadiah atau lotre sebagai imbalan untuk mendaftar atau memilih.
Meski Musk telah memberikan lebih dari US$ 75 juta kepada super PAC (Political Action Committee) pro-Trump miliknya, banyak yang meragukan bahwa ia akan menghadapi tuntutan hukum serius. Namun, langkah ini telah memicu diskusi luas tentang integritas pemilu dan batasan hukum terkait pemberian imbalan kepada pemilih.
Pemenang pertama dari hadiah US$ 1 juta diumumkan pada Sabtu lalu di Harrisburg, Pennsylvania, ketika Musk menyerahkan cek raksasa kepada seorang pendukung Trump. Pemenang kedua diumumkan pada hari Minggu dalam sebuah acara di Pittsburgh.
Meski hadiah ini dirancang untuk mendorong partisipasi pemilih, terutama di kalangan pendukung Trump, para kritikus mempertanyakan apakah tindakan Musk ini benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang adil, terutama mengingat implikasi hukum yang mungkin timbul.
(Anton)