SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Cinta adalah fenomena universal. Sejak dentuman Big Bang tiga belas miliar tahun lalu, ia hadir sebagai bahan renungan filsuf, penyair, dan ilmuwan. Plato menyebutnya kerinduan jiwa untuk kembali pada kesempurnaan, Kierkegaard menyebutnya pilihan eksistensial, sementara sains kontemporer menyingkap sisi biologisnya dengan pisau bedah molekuler: cinta ternyata beroperasi layaknya obat.
Dalam perspektif farmakologi, cinta punya zat aktif, mekanisme aksi, farmakokinetik, hingga efek samping. Menulis tentang cinta dengan kacamata farmasi berarti merangkul paradoks—membaca yang paling puitis dengan bahasa yang paling klinis—dan menemukan bahwa keduanya saling melengkapi.
Mekanisme Aksi: Simfoni Molekul
Pada fase awal jatuh cinta, otak membanjiri sistem reward dengan dopamin, menciptakan euforia mirip efek amfetamin. Penelitian pencitraan otak membuktikan adanya aktivasi kuat di area ventral tegmental dan nucleus accumbens, pusat “hadiah” yang membuat jatuh cinta terasa memabukkan.
Oksitosin hadir sebagai jembatan kepercayaan, mempererat ikatan intim, sementara vasopresin menambahkan nuansa proteksi dan keterikatan jangka panjang—dibuktikan pada penelitian hewan pengerat seperti prairie vole yang setia seumur hidup. Ironisnya, kadar serotonin justru menurun pada fase ini, menciptakan obsesi khas: pikiran terus-menerus terikat pada satu sosok.
Dengan kata lain, jatuh cinta adalah badai neurotransmiter. Euforia, keintiman, proteksi, dan obsesi berkelindan, membuat manusia tunduk pada hukum biologi meski merasa tengah menjalani takdir metafisik.
Farmakokinetik Cinta: Absorpsi hingga Eliminasi
Layaknya obat, cinta juga mengikuti alur farmakokinetik.
- Absorpsi dimulai dari tatapan pertama, senyuman, atau percakapan sepele.
- Distribusi terasa di seluruh tubuh: detak jantung meningkat, telapak tangan berkeringat, tidur tak teratur.
- Metabolisme berlangsung lewat waktu, keintiman, konflik, dan rekonsiliasi. Ada cinta yang cepat terurai, ada pula yang stabil hingga jangka panjang.
- Eliminasi hadir ketika hubungan berakhir. Namun sebagaimana obat meninggalkan metabolit aktif, cinta pun menyisakan residu berupa kenangan yang tetap memengaruhi perilaku.
Dosis, Toleransi, dan Overdosis
Pada awalnya, cinta datang dalam dosis inisial yang eksplosif—fase honeymoon yang membuat dunia terasa lebih terang. Namun hubungan jangka panjang menuntut dosis pemeliharaan, berupa konsistensi dan perhatian. Tanpa adaptasi, tubuh mengembangkan toleransi: euforia memudar, cinta kehilangan daya terapeutiknya.
Kadang, cinta berubah jadi overdosis. Hasrat berlebihan menjelma obsesi posesif, bukan lagi menyembuhkan, melainkan meracuni. Dalam analogi ekonomi, fase ini serupa dengan bubble keuangan: awalnya penuh gairah, tapi ketika gelembung pecah, kerugian jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat.
Efek Samping: Patah Hati
Tidak ada obat tanpa efek samping. Putus cinta menghadirkan withdrawal syndrome: dopamin dan serotonin menurun, menimbulkan rasa hampa, insomnia, hingga depresi.
Dalam dunia medis, dikenal takotsubo cardiomyopathy atau broken heart syndrome: stres emosional berat yang benar-benar memengaruhi fungsi jantung. Gejalanya mirip serangan jantung, meski arteri koroner bersih. Sebagian besar pasien pulih dalam hitungan minggu, tetapi kondisi ini nyata adanya.
Filsafat melihat patah hati sebagai pengingat bahwa manusia tak sepenuhnya berdaulat atas dirinya sendiri. Dalam analogi ekonomi, ini serupa resesi: kontraksi tajam setelah ekspansi berlebihan, yang meski menyakitkan, kelak memberi sistem pertahanan baru.
Cinta sebagai Terapi: Placebo dan Nocebo
Meski berisiko, cinta juga adalah terapi. Efek placebo cinta mampu meningkatkan kualitas hidup: kehadiran pasangan menurunkan tekanan darah, mengurangi hormon stres, bahkan meningkatkan imunitas. Sebaliknya, efek nocebo terjadi ketika cinta justru memperburuk kondisi psikologis akibat prasangka dan kecemasan berlebihan.
Hubungan yang sehat bekerja layaknya imunomodulator: memperkuat sistem pertahanan tubuh dan memberi energi positif. Sebaliknya, hubungan toksik bagaikan kombinasi obat yang saling meniadakan manfaat, menciptakan efek samping yang lebih parah.
Penutup: Obat Paling Tua
Cinta adalah obat paling tua yang dikenal manusia—dengan dosis yang sulit diukur, mekanisme yang kompleks, dan efek samping yang kadang tak tertahankan. Namun seperti obat lain, cinta bisa menjadi terapi paling mujarab bila diberikan dalam kondisi yang tepat, dengan dosis yang sesuai, dan dengan kesediaan untuk menerima risiko efek sampingnya.
Mungkin di situlah letak keindahan cinta: ia tidak bisa direduksi hanya pada kimia, filsafat, atau ekonomi semata. Ia adalah simfoni yang lahir dari perpaduan semuanya.
(Anton)