SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan para advokat untuk senantiasa menjaga kehormatan profesinya. Karena masyarakat banyak menggantungkan harapan dalam memperjuangkan hak-hak hukum. Mengingat hingga hari ini, masih banyak masyarakat pencari keadilan yang merasa bahwa proses peradilan yang jujur, adil, dan memberikan kepastian hukum, dalam beberapa kasus masih sebatas utopia.
“Merujuk survey Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020, angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen. Menunjukkan bahwa persoalan penegakan hukum masih menyisakan berbagai persoalan. Di tengah kebutuhan perlindungan hukum bagi masyarakat yang hampir tiada henti, keberadaan advokat ibarat sebuah oase di tengah padang pasir,” ujar Bamsoet saat menghadiri Pelantikan Pengurus DPN PERADI periode 2020-2025 dibawah kepemimpinan Juniver Girsang, secara virtual dari Studio Digital Black Stone Bamsoet Channel, di Jakarta, Kamis (11/2/21).
Ketua DPR RI ke-20 ini mengapresiasi langkah PERADI yang mengedepankan regenerasi organisasi dengan mempercayakan 70 persen kepengurusan kepada generasi muda. Dalam rangka menyongsong perubahan zaman yang ditandai Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
“Kemajuan teknologi telah mendorong lahirnya berbagai inovasi pada berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang penegakan hukum. Ke depan, dengan laju modernisasi di sektor penegakan hukum, bisa jadi pelayanan jasa hukum dapat dilakukan oleh mesin-mesin cerdas (artificial intelligence), yang bisa menghasilkan layanan jasa hukum secara lebih taktis, cepat, akurat, dengan biaya lebih terjangkau,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini meyakini, secanggih apapun artificial intelligence, tak akan mampu melangkahi para advokat. Mengingat para advokat mempunyai keunggulan yang tidak mungkin dilampaui kemampuan mesin, yaitu akal fikiran dan nurani, yang dari padanya terlahir pertimbangan moralitas dan kebijaksanaan.
“Kemampuan advokat dalam memformulasikan keseimbangan antara inteligensia (olah fikir), emosional (olah rasa), dan moral-spiritual (olah jiwa), tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi. Karena pertimbangan dan putusan hukum tidak semata-mata membutuhkan kemampuan kognitif, tetapi mesti dilandasi kode etik dan moralitas,” kata Bamsoet.(EK)