SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketua MPR RI ke-16 sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mendorong pemerintah untuk segera membentuk big data potensi desa. Langkah ini dinilai penting untuk pemerataan pembangunan dan pemberdayaan desa sebagai sumber daya ekonomi, sesuai dengan pesan Proklamator Indonesia, Bung Hatta, bahwa Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.
“Untuk memajukan desa, pemerintah telah mengalokasikan dana desa yang mencapai Rp 71 triliun. Dana ini dapat dimanfaatkan oleh para kepala desa untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Jumlah BUMDes terus meningkat setiap tahunnya, dari 50.199 unit pada 2019 menjadi 60.417 unit pada 2022. Keberadaan BUMDes berperan penting dalam mengelola perekonomian desa hingga mencapai total Rp 3,06 triliun setiap tahun,” ujar Bamsoet dalam Forum Group Discussion (FGD) tentang BUMDes yang diselenggarakan oleh Brain Society Center (BS Center) di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Dalam diskusi tersebut, hadir berbagai pakar dan pemangku kepentingan, termasuk Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Ulla Nuchrawaty, Ketua Dewan Pakar BS Center Prof. Didin S. Damanhuri, Sekjen BS Center Dhifla Wiyani, dan Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University Sofyan Sjaf, yang turut membahas tantangan dan peluang dalam pengembangan BUMDes.
Bamsoet, yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum & Keamanan, mengakui bahwa di balik peningkatan jumlah BUMDes, masih terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi. Misalnya, pada tahun 2019, tercatat ada 2.188 BUMDes yang tidak beroperasi dan 1.670 BUMDes yang beroperasi namun belum memberikan kontribusi signifikan pada pendapatan desa. Angka ini meningkat pada tahun 2021 dengan 12.040 BUMDes yang tidak aktif.
Menurut Bamsoet, beberapa faktor yang menyebabkan ketidakaktifan BUMDes antara lain adalah ketidaksesuaian BUMDes dengan kekuatan ekonomi lokal, disorientasi kebijakan, serta kepemimpinan desa yang kurang visioner. Selain itu, BUMDes sering kali tidak didukung oleh perencanaan bisnis berbasis data yang akurat dan kurang mampu mengubah mindset generasi muda desa.
Bamsoet juga menyoroti paradoks dalam pembangunan pedesaan, terutama dalam konteks ketergantungan pada impor pangan yang masih tinggi. Pada tahun 2024, impor pangan diprediksi mencapai 12.437.218 ton, mencakup komoditas seperti beras, gula, bawang putih, daging sapi, dan jagung. Ini menunjukkan bahwa potensi desa sebagai penyedia pangan belum dimaksimalkan, meskipun sebagian besar rumah tangga di desa masih bergantung pada sektor pertanian.
“Impor pangan pada tahun 2023 saja mencapai USD 18,76 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun. Kondisi ini menyebabkan desa, yang 73 persen lebih ekonominya bergantung pada pertanian, masih identik dengan ketertinggalan dan kantong kemiskinan. Akibatnya, minat generasi muda untuk menjadi petani sangat rendah, sehingga 61,8 persen petani saat ini berusia di atas 45 tahun, dan hanya 12,2 persen yang berusia di bawah 35 tahun,” pungkas Bamsoet.
DSK | Foto: Humas MPR RI