SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pernah bayangin ke perpustakaan terus disambut AI? Bukan alien ya, tapi Artificial Intelligence alias kecerdasan buatan yang sekarang mulai diajak nongkrong bareng sama pustakawan.
MPR RI barengan sama UPT Perpustakaan Universitas Negeri Semarang (UNNES) baru aja gelar seminar bertajuk:
“Penggunaan Tools AI dalam Mempromosikan Perpustakaan di Era Digital”
Iya, beneran! Perpustakaan sekarang bukan cuma soal pinjem buku dan cap stempel, tapi udah masuk ke level canggih: pakai AI buat promosi, buat bantuin pelayanan, bahkan buat menarik anak muda yang lebih kenal TikTok daripada katalog Dewey.
Anies Mayangsari Muninggar, Kepala Biro Humas dan Sistem Informasi MPR RI, buka seminar sambil ngingetin kalau zaman udah beda.
“AI telah menjadi solusi inovatif untuk membuat perpustakaan tetap relevan — mulai dari akses yang lebih mudah, layanan yang lebih cepat, sampai tampilan yang lebih menarik buat pemustaka.”
Intinya, AI itu kayak teman baru perpustakaan. Dia bantuin pustakawan, bukan gantiin. Tapi ya gitu, kata Bu Anies, selain manfaat, tetap aja ada PR segede gaban: masalah etika, keamanan data, sampai SDM yang masih loading.
“Peluangnya besar, tapi PR-nya juga tidak kecil.”
Dari pihak UNNES, Prof. Dr. Sugianto kelihatan sumringah. Gimana enggak, kerja sama ini bisa jadi jalan ninja buat bikin perpustakaan makin kece dan nggak jadul.
“Dengan AI, promosi bisa lebih efektif, pengelolaan informasi jadi cepat, dan yang penting, pengalaman pengguna juga meningkat.”
Ya, siapa tahu nanti pustakawan bisa punya chatbot pribadi yang bantu jawab pertanyaan, dari “Di mana buku Sejarah Indonesia?” sampai “Ada novel yang cocok buat patah hati?”
Prof. Dr. Sungkowo Edy Mulyono dari UNNES kasih gambaran soal perpustakaan di Shenzhen, China. Katanya, di sana udah serba digital. Bayangin: mau pinjem buku tinggal lirik, mau keluar tinggal lambaikan tangan ke kamera.
“Belajar itu seumur hidup. Di perpustakaan kita sudah ada RFID, gimana kalau semua layanan pakai AI? Kita harus siap.”
Nadanya kayak dosen killer, tapi pesannya jelas: kalau nggak ikut berubah, ya siap-siap ditinggal zaman. Buku boleh tua, tapi pengelolaannya harus muda.
Dr. Feddy Setio Pribadi, dosen Teknik Komputer UNNES, kasih fakta mengejutkan: AI itu ternyata udah tua banget. Bahkan lebih tua dari Indonesia merdeka.
“Neural Network itu ditemukan tahun 1945, pas kita baru merdeka. Jadi sebenarnya ini teknologi lama yang sekarang baru ngetren.”
Bayangin, pas nenek kita masih pegang buku jahit, ilmuwan di Amerika udah mikirin cara bikin mesin yang bisa mikir kayak otak manusia. Sekarang? Kita tinggal nikmatin hasilnya.
“Dulu saya butuh dua minggu buat ngoding, sekarang satu menit. AI udah jadi partner kerja.”
Sementara kita masih buka YouTube tutorial, AI udah kasih kode siap pakai. Duh.
Pustakawan kece dari Dinas Arsip dan Pustaka Kota Semarang, Awalinda Diah Putriramadani, ikutan seminar dan keluar dengan kepala penuh ide.
“Seminar ini penuh daging. Banyak banget yang bisa langsung saya praktikkan di tempat kerja.”
Maksudnya ‘penuh daging’ bukan ayam geprek ya, tapi isinya berisi banget. Katanya sih kalau ada lagi, doi pasti daftar duluan.
“Kalau ada lagi, saya pasti ikut!”
Perpustakaan bukan lagi tempat buat tidur siang atau nunggu dosen. Dengan AI, pustakawan bisa berubah jadi superhero informasi. Tapi ingat: AI cuma alat, bukan juru selamat.
Kalau masih nunggu teknologi lewat, bisa-bisa perpustakaan cuma tinggal kenangan di Instagram alumni. Jadi, mari gerak bareng. Karena masa depan perpustakaan bukan cuma soal koleksi buku, tapi juga soal siapa yang siap berubah.
Kalau kamu pustakawan, mahasiswa, atau cuma sering nebeng WiFi di perpus, ini saatnya kenalan sama AI. Siapa tahu, nanti bukan cuma buku yang ngajarin kamu — tapi AI juga.
(Anton)