SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan, tampaknya sedang tidak mau main-main. Dalam Forum Legislasi yang berlangsung panas tapi santai di Kompleks Parlemen, ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk berhenti menganggap narkoba sebagai “masalah biasa” dan mulai mengakuinya sebagai bahaya laten bangsa.
“Kalau dulu MPR bisa menetapkan komunisme sebagai bahaya laten, masa sekarang narkoba nggak bisa?” tantangnya, sambil melirik mikrofon seolah minta jawaban.
Menurut politisi Partai Demokrat ini, selama narkoba hanya dianggap sebagai masalah hukum semata, maka perang terhadapnya akan seperti sinetron tanpa ending: terus tayang, tapi makin nggak jelas alurnya.
“Kalau tidak ada komitmen politik tertinggi dari negara, ya pemberantasan narkoba akan terus jadi slogan—bagus di spanduk, lemah di tindakan,” sentilnya.
Penyidik BNN Kalah Pangkat Sama Penyidik Pendidikan?
Tak hanya Hinca, Direktur Hukum BNN Toton Rasyid juga menyumbang “kekesalan intelektual”. Dalam forum yang sama, Toton curhat bahwa posisi penyidik BNN dalam draf KUHAP terbaru bahkan tidak disebut secara eksplisit. Hasilnya? Penyidik BNN bisa kalah pangkat sama penyidik dari instansi lain.
“Kalau ini disahkan begitu saja, BNN harus minta izin dulu ke Polri buat menetapkan tersangka. Lama-lama penyidik kami disuruh isi absen juga mungkin,” kata Toton, setengah serius.
Toton mengingatkan bahwa jaringan narkoba sudah lintas negara—masuk lewat laut, hutan, bahkan lewat “celah-celah logika hukum”. Maka, katanya, BNN butuh lebih dari sekadar semangat—mereka butuh regulasi yang tajam dan jelas.
Slamet: Kalau Anak Pejabat Kecanduan, Direhabilitasi. Kalau Anak Rakyat? Dipenjara.
Sementara itu, pengamat Slamet Pribadi memberikan pencerahan sekaligus sindiran. Ia menyebut banyak aparat hukum di lapangan tidak bisa (atau tidak mau) membedakan antara pengguna dan pengedar.
“Saya tanya, kalau anak kalian kecanduan narkoba, maunya direhab atau dipenjara? Semua jawab: direhab. Tapi kalau anak orang lain? Ya dipenjara. Ini namanya keadilan model karaoke—pilih lagu sesukanya,” sindir Slamet.
Ia juga menyampaikan fenomena mengejutkan: di beberapa wilayah industri, para pekerja justru diberi sabu oleh atasan agar bisa kerja 24 jam. “Ini bukan motivasi kerja, ini motivasi cari musibah,” tegasnya.
Solusinya? Kurangi Seremonial, Perbanyak Aksi Nyata
Hinca menyarankan agar program seperti “Desa Bersinar” tidak cuma berhenti di spanduk dan baliho. Ia mengusulkan kepala desa dilibatkan sebagai agen lapangan pemberantas narkoba. “Saya sudah coba di Asahan, Sumut. Tiap Jumat mereka keliling kampung usir bandar. Ini baru revolusi kampung bersinar, bukan kampung selfie bersinar,” ujarnya bangga.
Lebih berani lagi, Hinca mengusulkan agar Presiden Prabowo, saat HUT ke-80 RI nanti, memberikan amnesti nasional kepada pengguna narkoba. “Itu bentuk pengakuan bahwa negara pernah keliru. Jangan kebanyakan gaya, kalau bisa elegan dan bijak,” ucapnya.
Penutup: Narkoba Bukan Sekadar Masalah Hukum, Tapi Soal Masa Depan Bangsa
Ketiga narasumber sepakat: revisi UU Narkotika bukan hanya mendesak, tapi sudah lewat tenggat moral. Kalau negara terus mengejar bandarnya tanpa menyembuhkan penggunanya, maka kita cuma memotong daun tanpa mencabut akarnya.
Atau seperti yang disimpulkan oleh Slamet:
“Kalau pengguna sembuh, bandar kehilangan pelanggan. Kalau pelanggan hilang, pasar mati. Dan bandar pun bisa tutup lapak sambil menangis di pojokan.”
(Anton)