SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) Taufik “Tobas” Basari menepis anggapan di masyarakat adanya barter politik dari revisi UU MK. Alasannya RUU MK masuk kategori RUU kumulatif dalam prolegnas, yakni RUU yang disusun sebagai akibat tindak lanjut dari putusan MK terhadap UU tertentu yang harus mengalami perubahan akibat putusan MK tersebut.
“Karena itu akibat adanya putusan-putusan MK terhadap UU MK, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU MK yang mengacu pada putusan-putusan MK tersebut, ” ujar Tobas dalam Forum Legislasi bertema “RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?” di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (8/9/2020).
Menurut Tobas, penghapusan periodesasi hakim konstitusi misalnya, itu diharapkan agar para hakim tak berpikir lagi untuk mendapat ini dan itu, untuk menjadi menteri, kembali lagi menjadi hakim tinggi, lawyer, dan sebagainya. “Melainkan mereka harus menjadi negarawan dan mengabdi sepenuhnya untuk rakyat, bangsa dan negara, ” tegas Tobas.
Wakil rakyat dari Fraksi Partai NasDem ini, mengatakan mengingat revisi ini kumulatif sebagai akibat dari putusan MK atau untuk menjawab tindak lanjut dari putusan MK, maka akumulasi yang mengalami perubahan adalah obyek putusan-putusan MK.
Lain halnya jika usulan perubahan UU MK itu dilakukan bukan akibat dari putusan MK melainkan didasarkan dari hasil evaluasi terhadap tugas dan kewenangan MK, “maka sangat terbuka untuk membahas hal-hal lain yang selama ini dianggap menjadi permasalahan dan untuk itu dibutuhkan kajian yang dimuat dalam naskah akademik,” ujar kata Anggota Komisi III DPR itu.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Menurut Taufik seorang hakim konstitusi seharusnya tidak punya hasrat meraih jabatan apapun setelahnya, apa lagi hanya untuk menjadikan batu loncatan.
“Jadi seorang Hakim Konstitusi harus lepas pikirannya, enggak mau jadi apa-apa lagi, enggak berpikir untuk jadi menteri, enggak berpikir untuk jadi kepala daerah, bahkan ada yang jadi lawyers lagi,” ujar Tobas.
Anggota Panja lainnya Habibirrokhan mengaku revisi terkait komplain konstitusion yang didrop ini sebagai usulan diri dan anggota DPR yang lain. Padahal, konstitusi komplain ini ada di semua negara yang memiliki MK.
“Kami bermimpi ingin revisi ini menjadi kado terbaik bagi rakyat, dan saya yakin pada empat tahun ke depan akan gol,” kata politisi Gerindra itu.
Dengan konstitusi komplain diharapkan hakim tidak takut untuk memutuskan perkara terkait dengan eksekutif, legislatif, yudikatif dan lain-lain. Hal itu kata, Habiburrokhman, karena hakim MK ini bukan hakim biasa, melainkan negarawan yang harus diperlakukan istimewa.
“Jadi, saya miris jika revisi ini dituding sebagai barter dengan yang lain,” katanya.(EK)