SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Kalau dulu yang namanya konsumen cuma dianggap orang yang belanja di pasar atau minimarket, sekarang siap-siap aja: yang doyan checkout keranjang belanja online tengah malam pun akan ikut dilindungi negara.
Anggota Komisi VI DPR RI, Ismail Bachtiar, menegaskan bahwa zaman sudah berubah, dan undang-undang yang ngurusin konsumen pun harus ikut upgrade—bukan cuma upgrade iOS aja yang penting! Dalam diskusi Forum Legislasi bertema “Revisi UU Perlindungan Konsumen Diharapkan Menjawab Problematika di Masa Digitalisasi” (panjang banget ya, judulnya), Ismail bilang: udah waktunya definisi “konsumen” diperluas, nggak cuma yang belanja fisik, tapi juga yang klik-klik belanja digital, lintas negara, bahkan interaksi dengan AI yang kadang lebih pintar dari mantan kamu.
“Dulu konsumen itu dipikir cuma yang beli barang di toko, sekarang kita udah hidup di dunia penuh notifikasi dan QR code. Jadi, revisinya harus bisa masuk ke dunia digital juga,” ujar Ismail, dengan semangat khas anggota DPR yang ngerti tren.
Ismail, politisi PKS yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) revisi UU Perlindungan Konsumen, menyampaikan bahwa hampir semua aktivitas manusia zaman now udah digital. Dari beli tahu bulat sampai bayar cicilan motor, semua lewat HP. Tapi hukum kita? Masih pakai mindset tahun 1999, pas jamannya ringtone polifonik baru ngetren.
Konsumen Digital: Dari Lansia Sampai AI
Revisi UU ini bakal mengatur banyak hal yang dulunya nggak ada di radar: mulai dari transaksi lintas batas, penipuan e-commerce, sampai urusan AI yang bisa jadi CS tapi juga bisa ngelucu lebih dari stand up comedian.
Lebih lanjut, UU yang baru juga bakal kasih perlindungan khusus buat para konsumen rentan seperti lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Karena kalau yang muda aja bisa kejebak flash sale palsu, gimana yang udah sepuh?
“Pokoknya, UU ini nanti harus bisa lindungi seluruh jiwa, raga, dan keranjang belanja masyarakat Indonesia,” kata Ismail, dengan gaya ala orator revolusioner.
Tulus Abadi: UU 1999 Wajib Ganti Skin
Di forum yang sama, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, ikutan nyentil UU lama yang katanya udah uzur dan nggak kompatibel sama gaya hidup zaman now. Menurutnya, saat ini semua hal udah digital, mulai dari belanja, bayar utang, bahkan putus cinta pun kadang via aplikasi (ouch!).
“UU tahun 1999 itu udah terlalu kuno. Harus diamandemen. Kalau nggak, ya percuma. Dunia udah 5G, tapi aturannya masih pakai mindset 90-an,” sentil Tulus sambil nyarankan dibentuk Kementerian Perlindungan Konsumen kayak di Malaysia. Gokil, udah kayak Avengers buat belain rakyat yang kejebak diskon palsu.
Tulus juga nyorotin tingginya pengaduan soal kejahatan ekonomi digital. Bahkan katanya, dari zaman dia di YLKI dulu, kasus beginian udah mendominasi. Dari skincare yang bikin muka panas kayak ditampar, sampai makanan palsu yang rasanya lebih hambar dari chat gebetan yang gak dibales.
Menuju UU Konsumen Zaman Now
Intinya, baik Ismail maupun Tulus sepakat: UU Perlindungan Konsumen harus segera naik level! Bukan cuma ganti font dan halaman cover, tapi isinya harus bisa mengimbangi kecepatan dunia digital. Udah bukan zamannya lagi konsumen cuma dilindungi dari pedagang nakal di pasar. Sekarang, yang ngaku “COD bayarnya ke driver” pun perlu pengawasan.
Dan yang paling penting, UU baru ini jangan cuma jadi wacana yang viral seminggu doang. Harapannya, revisi ini benar-benar bisa bikin pelaku usaha mikir dua kali sebelum ngasih label “efek glowing instan” padahal kenyataannya bikin jerawatan tiga bulan.
Semoga revisi UU ini bisa jadi tameng buat kita semua yang suka khilaf belanja online, dan jadi kabar buruk buat para penjual yang doyan tipu-tipu. Ingat, di dunia digital, konsumen juga butuh justice… dan diskon yang beneran, bukan PHP.
(Anton)