SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kalau geopolitik punya mode hardcore, inilah contohnya. Ketegangan di Amerika Latin mendadak naik level setelah Rusia dan Belarus ikut “turun gunung” membela Venezuela, tepat ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump makin agresif menekan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Dunia pun mulai waswas—jangan-jangan ini bukan lagi sekadar drama regional, tapi trailer konflik global.
Amerika Serikat sejak lama tidak mengakui Maduro sebagai presiden sah Venezuela. Washington menyebut pemilu tahun lalu sebagai “tipu daya”, sementara sejumlah pengamat independen menilai oposisi seharusnya menang telak. Singkatnya: bagi AS, Maduro itu presiden versi unofficial patch.
Situasi sempat terlihat bakal berakhir damai. Mengutip Reuters, Jumat (12/12/2025), Maduro disebut pernah mengatakan kepada Trump dalam panggilan telepon 21 November bahwa ia bersedia meninggalkan Venezuela asalkan mendapat amnesti hukum penuh untuk dirinya dan keluarga. Kedengarannya seperti akhir cerita yang rapi.
Namun, cerita itu berubah drastis setelah Presiden Rusia Vladimir Putin masuk gelanggang.
Kremlin mengonfirmasi bahwa Putin menelpon langsung Maduro pada Kamis dan menegaskan dukungan penuh Rusia terhadap Venezuela. Pesannya jelas: kedaulatan negara tidak boleh diganggu, apalagi dengan tekanan eksternal. Bahasa diplomatiknya halus, tapi maknanya tegas—“Jangan macam-macam dengan sekutu kami.”
Rusia bahkan mengeluarkan peringatan keras kepada AS. Lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, Kremlin meminta Gedung Putih menahan diri.
“Kami berharap AS tidak membiarkan situasi berkembang menjadi konflik skala penuh yang bisa membawa konsekuensi tak terduga bagi seluruh Belahan Barat.”
Terjemahan bebasnya: Kalau ini meledak, jangan salahkan kami.
Tak mau ketinggalan, Belarus ikut meramaikan panggung. Presiden Alexander Lukashenko kembali bertemu Duta Besar Venezuela untuk Moskow, Jesus Rafael Salazar Velazquez, untuk kedua kalinya hanya dalam 17 hari. Lukashenko menegaskan bahwa Maduro selalu diterima di Belarus, sambil mengisyaratkan adanya koordinasi strategis sebelum mengambil langkah lanjutan.
Sementara itu, dari seberang Atlantik, Trump justru menginjak gas. Ia meningkatkan tekanan terhadap Caracas, termasuk pengerahan kekuatan militer besar-besaran di wilayah Karibia. Dalam wawancara dengan Politico, Trump bahkan menyatakan, “hari-hari Maduro sudah dihitung.” Kalimat yang biasanya muncul sebelum konflik benar-benar dimulai.
Tekanan AS juga dikemas dalam narasi “perang melawan narkoba”. Trump menuding pemerintahan Maduro terlibat dalam operasi narkotika internasional. Dampaknya bukan main: serangan drone dan rudal AS terhadap kapal-kapal yang dicurigai terkait jaringan narkoba di Samudra Pasifik telah menewaskan 87 orang.
Belum cukup, Trump menegaskan bahwa semua kapal tanker yang melintasi jalur pengangkutan minyak bersanksi—termasuk di sekitar Venezuela—akan dikenai sanksi berat. Awal pekan ini, satu kapal tanker besar bahkan disita AS di lepas pantai Venezuela.
Kini, dunia menyaksikan dengan napas tertahan. Di satu sisi ada AS dengan tekanan militer dan ekonomi, di sisi lain ada Rusia dan sekutunya yang mulai mengibarkan bendera perlawanan diplomatik. Venezuela pun berubah dari krisis domestik menjadi papan catur geopolitik global.
Apakah ini akan berakhir di meja negosiasi, atau justru jadi bab baru konflik besar dunia? Yang jelas, Amerika Latin kini bukan lagi sekadar halaman belakang AS—melainkan arena perebutan pengaruh kekuatan global.
Dan ketika Putin sudah ikut menelepon, dunia tahu: ini bukan konflik biasa.
(Anton)



















































