SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Transformasi digital di tubuh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri kembali menjadi sorotan dalam forum Dialektika Demokrasi bertema “Transformasi Digital Korlantas: Menjawab Tantangan Pelayanan Modern untuk Masyarakat”, yang digelar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Tiga sudut pandang berbeda—dari legislatif, akademisi, hingga institusi kepolisian—hadir memberikan gambaran utuh tentang pentingnya digitalisasi dalam sektor lalu lintas. Namun, semua sepakat: transformasi ini harus tetap berpihak pada masyarakat.
Nasir Djamil: Kecelakaan Meningkat, Wajah Lalu Lintas Butuh Perubahan
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengawali dengan kritik tajam soal kualitas keselamatan lalu lintas di Indonesia. Menurutnya, perilaku pengguna jalan mencerminkan kualitas bangsa itu sendiri.
“Untuk melihat kualitas suatu negara, lihatlah bagaimana mereka di jalan. Kalau lalu lintasnya tertib, pengendara disiplin, itu cerminan negara yang berkualitas. Sayangnya di negeri ini, masih banyak yang memilih jalan pintas, tidak tertib, bahkan ada istilah ‘SIM tembak’,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa kecelakaan lalu lintas tahun 2024 meningkat hampir delapan kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
“Data menyebutkan kecelakaan lalu lintas pada 2024 meningkat nyaris delapan kali lipat. Ini harus menjadi perhatian serius. Jangan sampai kita mengalami ‘kecelakaan kebijakan’,” tegasnya.
Nasir juga menekankan perlunya kerja lintas sektor, bukan sekadar “sama-sama kerja”. Ia menyoroti kerusakan jalan akibat proyek asal-asalan dan pertumbuhan kendaraan bermotor yang tidak dibarengi infrastruktur memadai.
“Kita butuh kerja sama, bukan hanya sama-sama kerja. Jalan digali, ditimbun asal-asalan, malam-malam bisa jadi jebakan. Ini semua memperburuk keselamatan di jalan,” ujarnya.
Bambang Rukminto: Korlantas, Etalase Peradaban Negeri
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto memberikan pandangan strategis tentang posisi Korlantas sebagai wajah terdepan peradaban di jalan raya.
“Perilaku masyarakat di jalan adalah etalase peradaban. Maka Korlantas ini adalah penjaga etalase peradaban negeri,” ungkapnya.
Namun ia mempertanyakan semangat dari digitalisasi yang dijalankan: apakah benar demi pelayanan atau hanya untuk optimalisasi pendapatan negara?
“Transformasi digital ini spiritnya dalam rangka melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat atau justru hanya optimalisasi pendapatan negara? Ini perlu dijelaskan,” tegas Bambang.
Ia menilai pemberlakuan tilang elektronik (ETLE) belum diimbangi dengan kehadiran polisi di lapangan, yang justru menurunkan intensitas patroli dan membuka ruang bagi kejahatan jalanan.
Selain itu, ia mengkritisi sistem PNBP yang belum merata antarwilayah, serta lemahnya konsistensi dalam penegakan hukum.
“Penegakan hukum kita masih belum konsisten. Kasus kecelakaan sering kali membingungkan masyarakat, siapa yang ditetapkan sebagai tersangka, dan siapa korban. Apalagi kalau melibatkan oknum aparat,” pungkasnya.
Korlantas: Digitalisasi untuk Pelayanan Lebih Bersih dan Transparan
Sementara itu, Kombes Pol Aries Syahbudin, Kabagops Korlantas Polri, menjelaskan bahwa transformasi digital adalah upaya untuk membenahi layanan dan menghilangkan potensi korupsi di lapangan.
“Digitalisasi adalah kunci untuk meningkatkan kualitas layanan Korlantas. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal membangun kepercayaan publik, memotong birokrasi, dan mencegah korupsi,” ujarnya.
Ia menyoroti keberhasilan sistem ETLE dalam memotong interaksi langsung antara petugas dan pengendara yang rawan pungli.
“Transaksi di jalan terjadi karena pertemuan langsung antara petugas dan pengendara. Dengan digitalisasi seperti ETLE, interaksi itu kita potong. Ini bagian dari inisiatif anti-korupsi,” katanya.
Beberapa inovasi lain yang telah diterapkan adalah:
- SIM internasional online: bisa diakses tanpa harus ke Jakarta.
- Integrasi data kecelakaan nasional: mendukung perencanaan infrastruktur oleh PUPR dan Bappenas.
- Manajemen arus mudik digital: bisa prediksi kepadatan lalu lintas.
- Sistem poin pelanggaran: pengemudi bisa kena sanksi progresif hingga wajib uji ulang.
“Kalau lima tahun ke depan poin pelanggaran habis, pengemudi harus uji ulang. Sistem ini akan mendorong pengendara lebih disiplin,” katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa masalah lalu lintas tidak bisa hanya dibebankan pada polisi.
“Jangan sampai semua seolah-olah tanggung jawab polisi. Masalah jalan rusak, kendaraan overload, itu lintas sektor. Tapi kami siap mendukung dengan data dan sistem yang transparan,” tutupnya.
Menuju Lalu Lintas Beradab dan Transparan
Diskusi ini memperlihatkan bahwa transformasi digital Korlantas adalah langkah penting yang harus didukung, namun tetap kritis diawasi. Dari legislator, pengamat, hingga aparat, semua sepakat bahwa teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah semangat melayani, keadilan, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan dan pelaksanaannya di jalan raya.
Karena pada akhirnya, kedisiplinan di jalan mencerminkan kualitas bangsa.
(Anton)