SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Di tengah dunia yang kian bergejolak oleh konflik, rivalitas kekuatan besar, dan krisis kemanusiaan lintas negara, Indonesia tidak hanya berbicara melalui pemerintah. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, lewat Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), ikut memainkan peran penting dalam menjaga kepentingan nasional di panggung global.
Ketua BKSAP DPR RI Syahrul Aidi Maazat menegaskan bahwa diplomasi parlemen menjadi instrumen strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika politik internasional yang semakin kompleks. Menurutnya, politik luar negeri Indonesia tidak hanya dijalankan melalui jalur eksekutif, tetapi juga melalui jalur parlemen yang aktif membangun komunikasi dan kepercayaan antarnegara.
“Diplomasi parlemen memungkinkan Indonesia menyampaikan sikap politik, kepentingan kemanusiaan, dan aspirasi rakyat secara langsung kepada parlemen negara lain,” ujar Syahrul di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Dalam agenda Refleksi 2025 dan Outlook Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia 2026, BKSAP mengangkat sejumlah isu global sebagai contoh nyata peran diplomasi parlemen. Isu tersebut meliputi perjuangan rakyat Palestina, konflik berkepanjangan di Sudan dan Yaman, serta dinamika kawasan Timur Tengah yang melibatkan banyak aktor regional.
Melalui forum-forum antar-parlemen, Indonesia secara konsisten menyuarakan pentingnya penyelesaian damai, gencatan senjata, dialog politik, dan penggunaan mekanisme multilateral. BKSAP menilai pendekatan ini bukan sekadar sikap politik, tetapi juga wujud tanggung jawab moral Indonesia terhadap nilai kemanusiaan dan stabilitas global.
Di kawasan Indo-Pasifik, meningkatnya rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi ujian bagi politik luar negeri bebas dan aktif. Syahrul menegaskan bahwa Indonesia harus tetap terbuka bekerja sama dengan semua pihak, namun tidak boleh terseret menjadi alat kepentingan geopolitik negara mana pun.
“Indonesia tidak boleh menjadi objek tarik-menarik kepentingan. Kita harus menjalankan hedging diplomacy—terbuka bekerja sama, tetapi tetap berdiri di atas kepentingan nasional,” tegasnya.
Lebih jauh, BKSAP menekankan bahwa diplomasi harus memberi manfaat langsung bagi rakyat. Perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, khususnya pekerja migran, menjadi agenda utama yang terus diperjuangkan melalui kerja sama antar-parlemen dan perjanjian bilateral yang lebih kuat.
Selain itu, Syahrul menyoroti ancaman perubahan iklim dan bencana alam, termasuk banjir besar yang melanda Sumatera. Ia menilai diplomasi Indonesia ke depan perlu memasukkan agenda climate diplomacy dan humanitarian diplomacy, mulai dari pemanfaatan teknologi hingga dukungan pendanaan mitigasi global.
“Diplomasi Indonesia ke depan harus memperkuat posisi sebagai pemimpin Global South, berorientasi pada perlindungan rakyat, dan memastikan kerja sama luar negeri memberikan manfaat nyata bagi ketahanan energi, pangan, teknologi, hingga ruang siber,” katanya.
Menutup pernyataannya, Syahrul menegaskan bahwa diplomasi parlemen akan terus bergerak lebih tegas, berdampak, dan berorientasi pada hasil. Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya hadir sebagai penonton dalam percaturan global, tetapi tampil sebagai negara yang suaranya didengar dan diperhitungkan.
(Anton)




















































