SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara kini tengah jadi sorotan, setelah mundurnya calon investor Softbank dari investasi Pembangunan IKN.
Awalnya di tahun 2020 lalu, pemerintah mengungkap keinginan Softbank berinvestasi hingga 100 miliar dollar Amerika Serikat atau setara Rp 1.432 triliun untuk membiayai Pembangunan IKN.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Wandy Tuturoong menyebut pengunduran diri ini dilatari perbedaan konsep IKN dan perhitungan investasi Softbank.
Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai batalnya investasi SoftBank Group di proyek ibu kota negara atau IKN akan membawa konsekuensi besar bagi Indonesia, baik terhadap APBN maupun manuver sosial politik.
Ekonom dan Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai bahwa terdapat dua konsekuensi utama dari batalnya investasi SoftBank ke proyek IKN.
Pertama, adanya potensi gangguan terhadap kecepatan pembangunan IKN karena rencana investasi dari SoftBank bernilai sangat besar.
SoftBank sempat menjanjikan investasi US$30-40 miliar atau berkisar Rp430-575 triliun (dengan asumsi kurs Rp14.000). Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat mengklaim bahwa SoftBank berminat menyuntikkan dana US$100 miliar atau sekitar Rp1.430 triliun untuk proyek IKN.
Imbasnya, menurut Bhima, jika pemerintah ingin mengejar pembangunan IKN yang tepat waktu maka investasi awal proyek itu atau berkisar 80 persen-90 persen harus berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal tersebut akan membebani keuangan negara dalam kondisi pemulihan dari pandemi Covid-19.
Di tengah target menurunkan defisit dibawah 3 persen pada 2023 maka pemerintah akan mengandalkan keuntungan penerimaan dari komoditas dan menambah pembiayaan utang baru,” ujar Bhima pada Minggu (13/3/2022).
Konsekuensi kedua adalah pemerintah perlu mencari pengganti Softbank, entah lembaga investasi hedge fund maupun sovereign wealth fund (SWF) dari negara mitra, seperti Arab Saudi.
Sayangnya, Bhima menilai bahwa mencari investor sekelas SoftBank bukan perkara mudah, apalagi pemerintah ingin proses pembangunan IKN segera berjalan.
“Butuh proses uji kelayakan, pembacaan situasi ekonomi, dan hitung-hitungan manfaat sosial-politik bagi investor,” ujarnya.
Bhima menilai bahwa ketidakpastian menjadi faktor besar yang menyebabkan batalnya investasi SoftBank di IKN. Dia menyebut secara langsung risiko politik dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau penundaan pemilihan umum membuat iklim investasi menjadi buruk.
“Kegaduhan belakangan soal perpanjangan masa jabatan presiden membuat investor memilih wait and see. Investasi di IKN bukan jangka pendek, tapi butuh kepastian jangka panjang.
Dikhawatirkan risiko politik terkait pemilu akan membuat proyek IKN terkendala, bahkan bisa berhenti total,” ujarnya.
Kondisi ekonomi pun, menurut Bhima, turut memengaruhi keputusan SoftBank dalam membatalkan investasi.
Naiknya suku bunga di berbagai negara turut meningkatkan biaya dana (cost of fund), khususnya bagi investor yang memiliki rasio utang tinggi.
Investor membaca risiko inflasi yang tinggi di negara-negara maju akan membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan. Biaya besi baja dan barang material konstruksi lainnya akan mengalami kenaikan, imbas dari terganggunya rantai pasok global.
“Hal ini pernah terjadi saat pembangunan ibu kota negara di Putrajaya, Malaysia saat krisis moneter 1998, membuat biaya pembangunan naik signifikan,” ujarnya.
Bhima pun menilai bahwa serangan Rusia ke Ukraina menambah deretan ketidakpastian global. Investor sekelas SoftBank tentu akan lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan di tengah kondisi seperti saat ini.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sendiri menyebut kebutuhan pembangunan IKN tahap 1 hingga 2024 sebesar Rp 110 triliun, dari total perkiraan anggaran sebesar Rp 446,9 triliun.
Skema pembiayaan IKN direncanakan sebesar 80% dari kerjasama pemerintah dan Badan Usaha, Public Private Partnership, dan investasi.
Sisanya sebesar 20% atau sekitar Rp 90 triliun akan dibebankan pada APBN untuk membiayai kawasan inti.
Pada 7 Maret lalu, pemerintah menerima kunjungan delegasi Pemerintah Uni Emirat Arab yang diklaim akan turut berinvestasi membangun IKN.
Mega Proyek IKN juga diwarnai isu dugaan bagi-bagi lahan di sekitar lokasi, KPK kini tengah menyelidiki informasi ini.
Kamis 10 Maret lalu, Presiden Jokowi telah melantik Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe sebagai Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. (wwa)