SUARAINDONEWS.COM, Bogor-Dalam draf RUU Penyiaran versi 3 Oktober 2017 lalu, sudah termuat ketentuan bahwa model migrasi dari penyiaran analog ke digital yang akan dijalankan adalah multiplekser tunggal (single mux) dengan Lembaga Penyiaran Publik (TVRI/RRI) bertindak sebagai penyelenggara multiplekser.
Disamping konsep multi-mux dianggap merugikan negara karena berdasarkan sebuah analisis pendapatan swasta dari industri penyiaran mencapai Rp 133 triliun per tahun, sementara potensi pendapatan negara dari penggunaan frekuensi oleh swasta hanya Rp 86 miliar per tahun.
Dan pilihan multiplekser tunggal (single-mux) dalam penyiaran digital yang otoritasnya diserahkan kepada negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan publik karena dengan pola mux tunggal (single-mux), akan terjadi penghematan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial sehingga akan ada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan komunikasi non-penyiaran.
Migrasi ke penyiaran digital dinilai mampu memberikan peluang usaha dan penataan industri siaran yang lebih adil bagi masyarakat. Selain itu publik bisa memperoleh keuntungan dalam penyiaran digital khususnya untuk mendukung kepentingan penyiaran non-komersil seperti untuk pendidikan, kesehatan, anak-anak hingga penanganan bencana alam.
Disamping penguasaan frekuensi siaran sekarang ini cenderung tak efisien dan mahal. Di sisi lain, hal tersebut juga menguntungkan pemain-pemain raksasa lama yang memiliki dukungan infrastruktur dan modal yang kuat. Penguasa frekuensi siaran juga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan politis.
Pembahasan RUU Penyiaran dinil ai sarat kepentingan politik, pasalnya, pembahasan RUU Penyiaran itu dilakukan dua tahun menjelang Pemilu 2019. Meski ditargetkan selesai akhir tahun 2017, toh Sandy Nayoan, staf ahli Komisi I Ftaksi PKB, yang hadir dalam Semiloka Gonjang Ganjing RUU Penyiaran, yang dihelat Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia bekerjasama denga PWI DKI Jaya, di Argamulya Cisarua, Bogor, berani menjamin pembahasan RUU Penyiaran masih harus menunggu hingga masa reses anggota dewan berakhir awal Januari 2018 nanti.
RUU ini pertama kali dibahas oleh Komisi I DPR pada 2010. Kala itu, DPR telah mengadopsi 80 persen dari draf yang disodorkan publik. Namun, hingga akhir 2014, pembahasan revisi tak kunjung kelar dan dilanjutkan pada tahun berikutnya. Tahun ini, RUU tersebut kembali ramai dipersoalkan.
Sandy Nayoan, lebih jauh mengemukakan bahwa penerapan single-mux memungkin kan dengan dasar perintah Undang-Undang Dasar 1945. Karena filosofi sumber daya alam, air, tanah, udara adalah milik negara untuk kepentingan masyarakat. Frekuensi masuk kategori kekayaan tersebut, jelasnya.
Dengan kata lain, frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga negara harus hadir dalam pengelolaan. Namun, dia melanjutkan, peran sektor swasta tidak bisa dihilangkan. PKB menghendaki ddikembalikan dahulu ke aturan hukum sebenarnya. Baru kemudian boleh negara mengatur frekuensi, tapi tidak boleh membuat swasta menjadi mati.
Sementara Wawan SH dari Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), meminta DPR memperhatikan industri penyiaran yang melakukan investasi terlebih dulu, harus memperhatikan effort industri yang sudah existing,” ujarnya. Dan dirinya meyakini single mux sarat dengan nuansa monopoli yang kental. Karena banyak ke khawatiran dengan single mux ini dimana pemancar akan mudah di block dengan tiba-tiba.
Namun demikian Wawan berharap dapat memperoleh opsi jalan tengahnya terhadap gonjang ganjing RUU Penyiaran antara single mux dan multi mux yakni melalui opsi muliti mux terbatas. Apalagi Presiden menyiratkan ketidakinginannya adanya pengebirian industri. Presiden berharap UU Penyiaran dapat merangkul semua dan menghidupi pula industri. Bahkan dirinya berani menjamin pihak industri tidak akan pernah bisa memiliki frekuensi karena pihak industri hanya mempunyai hak penggunaannya saja. Karena setiap tahun pihak industri harus menyelesaikan kewajibannya dalam BHP ISR. Jadi dengan kata lain bisa sewaktu – waktu industri pun bisa dihentikan frekuensinya.
Dan keduanya, Sandy Nayoan maupun Wawan bersepakat bahwa Layar Kaca Kita, Semakin Sehat, dengan lahirnya UU Penyiaran yang nantinya dapat diselesaikan sesegera mungkin, paska reses anggota Dewan pada 2018 nanti.
(tjo/ foto ist