SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dua dekade setelah reformasi menjanjikan otonomi daerah, arah politik Indonesia dinilai kembali ke pusat. Kewenangan daerah yang semestinya luas kini makin terbatas oleh regulasi dan kontrol ketat pemerintah pusat. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertema “Hubungan Pusat dan Daerah (Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah)” di Kompleks Parlemen, Rabu (10/9/2025).
Firman Subagyo: Ada Kelebihan, Tapi Banyak Tantangan
Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi Golkar, Firman Subagyo, menegaskan perlunya menata ulang hubungan pusat dan daerah.
“Akhir-akhir ini terjadi gejolak di daerah. Ini akumulasi dari regulasi yang justru mengambil kembali peran daerah,” kata Firman.
Ia menyebut dasar hukum desentralisasi sudah jelas, mulai dari UUD 1945, UU Pemerintahan Daerah, hingga UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah.
Menurutnya, desentralisasi memberi manfaat berupa partisipasi masyarakat yang lebih tinggi, efisiensi birokrasi, dan peluang mengembangkan potensi lokal.
“Kalau kepala daerah dari kalangan profesional, biasanya lebih cepat mengoptimalkan potensi SDM dan SDA,” jelasnya.
Namun, Firman juga menyoroti ketimpangan pembangunan, tumpang tindih kebijakan, hingga kapasitas daerah yang belum merata. Ia mencontohkan NTT yang kaya potensi, tapi miskin perhatian pusat.
“Produksi garam di NTT bisa luar biasa, tapi pemerintah pusat tidak serius mendukung. Akhirnya kita masih impor garam,” ujarnya.
Siti Zuhro: Warisan Reformasi yang Terancam
Peneliti utama politik BRIN, Prof. Siti Zuhro, menilai tren sentralisasi belakangan ini mengancam semangat reformasi.
“Selera rezim menentukan nasib otonomi. Ketika pemerintah ingin seragam, daerah kehilangan ruang berkreasi. Itu berbahaya bagi demokrasi,” tegas Zuhro.
Ia menunjuk UU Minerba dan UU Cipta Kerja sebagai contoh nyata ditariknya kewenangan strategis dari daerah ke pusat.
Zuhro juga mengkritik lemahnya pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah, terbukti dari ratusan kepala daerah yang terjerat OTT KPK.
“Kalau pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT setinggi itu,” katanya.
Menurutnya, pola seragam dari pusat berisiko mengabaikan keragaman antarwilayah.
“Kabupaten maju tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah 3T. Kebijakan seragam justru kontraproduktif,” tambahnya.
Dedi Iskandar: Dana Daerah Terus Dipangkas
Senator DPD RI yang juga anggota Badan Pengkajian MPR, Dedi Iskandar Batubara, menilai semangat otonomi daerah semakin tereduksi.
“Daerah kaya sumber daya seperti tambang nikel atau batubara, masyarakatnya tetap miskin. Kekayaannya lari ke pusat,” tegasnya.
Dedi menyoroti turunnya dana transfer ke daerah yang kini hanya sekitar Rp650 triliun, jauh berkurang dibanding Rp1.000 triliun pada 2019.
“Kalau izin ditarik ke Jakarta dan PAD hanya bergantung pada PBB atau pajak kendaraan, bagaimana daerah bisa berinovasi?” ujarnya.
Ia merekomendasikan empat langkah: melibatkan daerah dalam pengambilan kebijakan, memberi kewenangan lebih luas, mengurangi disparitas antarwilayah, serta mereformasi Pilkada agar lahir pemimpin daerah yang berkualitas.
“Kalau mekanisme politik tetap sentralistik, kepala daerah akan sibuk cari dukungan ke pusat, bukan mengurus daerahnya,” pungkas Dedi.
Diskusi ini menegaskan satu hal: otonomi daerah sebagai buah reformasi kini berada di persimpangan jalan. Antara desentralisasi yang ideal dengan sentralisasi yang kembali menguat, masa depan relasi pusat-daerah akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan pemerintahan baru.
(Anton)