SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR yang biasanya sepi kayak ujian tengah semester, mendadak jadi hangat pas giliran Anggota Badan Legislasi (Baleg), Sofwan Dedy Ardyanto, angkat bicara soal isu yang nggak kalah sensitif dari chat mantan: akuisisi data.
Dalam pembahasan RUU tentang Perubahan UU Nomor 16/1997 tentang Statistik, Sofwan tampil sebagai “defender of the data”, memperjuangkan agar lembaga statistik punya senjata hukum yang sah dan resmi untuk ngumpulin data. Tapi tetap, dengan rem yang kuat biar nggak ugal-ugalan.
“Akuisisi data itu dimaksudkan agar badan tersebut memiliki kemudahan dan payung hukum agar kebutuhan terhadap data, baik itu data mikro maupun data agregat yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan statistik ini bisa terpenuhi,” jelasnya, serius tapi santai.
BPS: Punya Tugas, Tapi Nggak Dikasih Alat
Selama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) disebut-sebut sering kehalang-halangi buat ngumpulin data karena belum ada aturan main yang jelas. Makanya Sofwan bilang, udah waktunya BPS dan Badan Data dan Statistik Nasional (BDSN) dikasih “kekuatan super” buat bisa:
1. Mengakses,
2. Mengakuisisi (baca: nyalin, bukan nyolong),
tanpa harus drama dulu.
“Maka badan ini, Badan Pusat Statistik atau BDS, Badan Data dan Statistik Nasional ini nanti akan punya kewenangan yang luar biasa untuk mengakses, satu. Kedua, mengakuisisi,” ucapnya dengan nada ala pembawa acara debat capres.
Tapi… Gimana Kalau Data Bocor?
Kayak beli minuman dingin tapi tutupnya longgar—Sofwan mengingatkan risiko besar kalau data masuk server BPS tanpa sistem keamanan mumpuni.
“Ketika data ini masuk ke server BPS, maka akan ada potensi kemudian terjadi kebocoran data. Apakah itu yang dilakukan oleh oknum atau dilakukan oleh pihak eksternal dengan metode-metode tertentu?” katanya, membuka pertanyaan yang bikin seluruh ruangan mikir keras.
Karena itu, menurut Sofwan, kerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kemenkominfo itu bukan opsional, tapi wajib nasional.
Satu Data, Tapi Siapa Bosnya?
Di bagian akhir, Sofwan lempar pertanyaan yang selama ini jadi misteri nasional versi dunia per-data-an Indonesia: siapa sih sebenarnya yang pegang kendali sistem “satu data nasional”? Apakah BPS harus numpang server ke PDN (Pusat Data Nasional), atau bisa punya server sendiri kayak anak kos yang udah mandiri?
“Apakah sudah diatur bahwa fasilitas bank data itu, server itu, misalnya BPS harus menggunakan data yang ada di PDN atau BPS bisa bikin server sendiri, misalnya, Pak?”
“Yang kedua terkait satu data tunggal itu, bank datanya atau itu leading sector-nya sebenarnya sekarang siapa, Pak?” tambahnya, dengan nada investigatif layaknya detektif data.
Harapannya: RUU Ini Jangan Setengah Matang
Sofwan menutup pernyataannya dengan harapan mulia agar norma-norma dalam RUU ini jangan asal jadi. Harus komprehensif, biar nanti data kita nggak bocor kayak WA grup yang isinya bisa nyebar ke mana-mana.
“Jangan sampai kami dalam menyusun norma ini nanti kurang komprehensif. Sehingga kemudian possibility yang terkait dengan kebocoran data ini bisa kita cegah dini sejak awal,” pungkasnya.
Catatan akhir:
RUU Statistik ini mungkin nggak seseksi drama politik atau gosip seleb, tapi percayalah—kalau datamu sampai bocor, rasanya bisa lebih panas daripada diselingkuhin. Jadi ya, mari kita dukung yang niatnya baik, tapi jangan kasih cek kosong.
(Anton)