SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Panitia kerja (Panja) Komisi XI DPR Johnny G. Plate mengungkapkan saat ini sedang merumuskan revisi UU Perbankan. Dalam revisi RUU tersebut diakuinya banyak hal yang memerlukan kehati-hatian dalam merumuskannya misalnya terkait pembukaan kerahasiaan bank atau keterbukaan bank. Jangan sampai kebijakan keterbukaan bank menggadaikan kepentingan nasional yang lebih besar.
“Pembahasan dan pembuatan draft revisi UU Perbankan ini memang tidak mudah, karena harus memperhatikan sangat hati-hati menyangkut kepentingan nasional. Apalagi kalau asing membuka bank di Indonesia, maka Indonesia juga bisa buka bank di luar negeri,” kata anggota Komisi XI DPR Johnny G. Plate, dalam dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk ‘Revisi Undang-Undang Perbankan’ di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/9/2016)
Menurut Johnny, ada prinsip reciprocal agreement dalam hubungan kerjasama dengan negara lain yang berarti harus ada perlindungan dari negara terhadap kepentingan nasional. Oleh karena itu dalam menyusun UU Perbankan, DPR memprediksi butuh waktu yang lama, apalagi RUU ini masih harus menyesuaikan dengan Undang-undang lainnya antara lain UU Tax Amensty, UU KUP (Ketentuan Umum Perbankan), JPSK, OJK, PPKSK, dan lain-lain.
Hal lain yang juga memerlukan kehati-hatian adalah tentang keterbukaan informasi perbankan (Automatic action of information) antar negara. “Memang ada bank yang mendukung dan ada yang menolak. Sehingga harus mencari titik temu, didiskusikan dengan serius, jangan sampai merugikan kepentingan nasional, dan jangan sampai mempersulit perbankan Indonesia sendiri,” ujar politisi Fraksi Partai Nasdem itu.
Fraksi-fraksi di DPR juga tegas akan mencantumkan penghapusan bailout pasca skandal Bank Century yang meminjam uang negara di Bank Indonesia tetapi pemilik bank kabur ke luar negeri dengan membawa uang bail out. “Tapi sebaliknya, kini pemilik banknya-lah yang harus bertanggungjawab. Tak boleh lagi ada bail out,” tegasnya.
Pakar hukum Pidana Perbankan Yenti Garnasih berpendapat draf revisi UU Perbankan harus mampu mendorong kelemahan UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) terutama dalam mengatur celah kejahatan perbankan. “Kalau tidak diback up dengan UU Perbankan, maka tax amnesty itu dikhawatirkan hanya akan berjalan selama 6 bulan ke depan,” kata pengajar dari Universitas Trisakti itu.
Yenti juga mengingatkan UU terkait seperti UU KPK, UU OJK, UU JPSK, dan UU BI, seperti berjalan sendiri-sendiri dalam mengatur tentang kejahatan perbankan. Yenti berharap pengetatan di bidang perbankan tidak perlu dilakukan sangat ketat, karena pemerintah sendiri sudah mengeluarkan kebijakan Tax Amanesty. “Jadi, untuk apa Indonesia terus mengetatkan? Toh, kejahatan perbankan itu mayoritas dilakukan orang bank itu sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Eddy Ganefo mendukung keterbukaan perbankan, karena akan meningkatkan pajak. Dengan pajak yang meningkat, maka akan mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tapi dengan UU ini, kita tak bisa membuka data WNI yang mempunyai uang di bank Singapura dan negara lainnya.
“Padahal dengan keterbukaan bank, maka kita akan tahu terjadinya pencucian uang di luar negeri,” katanya.(EKJ)