SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) terus menjadi perdebatan. Dalam Forum Legislasi bertajuk “RUU ASN Menjadi Harapan untuk Kesejahteraan ASN” yang digelar Selasa, 22 April 2025 di Gedung DPR RI, para narasumber menyoroti potensi risiko dari revisi ini, mulai dari ancaman sentralisasi hingga praktik rekrutmen yang tidak adil.
Forum ini diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI, menghadirkan:
- Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI
- Firman Soebagyo, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI
- Agus Pramusinto, Akademisi dan mantan Ketua KASN (via Zoom)
- Dr. Inosentius Samsul, Kepala Badan Keahlian DPR
Revisi Harus Serius, Jangan Asal-ubah
Anggota Baleg, Firman Soebagyo, menegaskan bahwa revisi UU tidak bisa dilakukan sembarangan. Ia menyebut, sampai saat ini Baleg DPR belum menerima naskah akademik maupun draft resmi revisi UU ASN.
“Sebuah undang-undang tidak bisa direvisi asal-asalan. Harus ada alasan urgensi, naskah akademik, pasal yang jelas, dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.
Firman juga mengingatkan bahwa jika lebih dari 50% isi UU diubah, maka itu bisa dianggap membuat undang-undang baru.
“Kalau lebih dari 50% diubah, itu bukan revisi, tapi bikin UU baru. Ini bisa rawan dibatalkan MK kalau tidak matang,” tegasnya.
Sentralisasi Justru Timbulkan Masalah Baru
Salah satu hal yang paling dikritisi adalah rencana agar semua kewenangan pengangkatan, mutasi, hingga pemberhentian ASN diserahkan ke Presiden.
“Kalau semuanya ditarik ke Presiden, bisa-bisa justru praktik transaksionalnya pindah dari daerah ke pusat. Ini bahaya,” kata Firman.
Ia menyoroti rekrutmen ASN dan P3K yang selama ini rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik.
“ASN dan P3K jangan dijadikan ajang balas jasa politik. Banyak yang diangkat karena jadi timses pilkada atau pilpres. Ini tidak profesional,” katanya kecewa.
Komisi II DPR: Perlu Kajian Mendalam agar Tidak Langgar UUD
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, juga menyuarakan kehati-hatian. Ia meminta Badan Keahlian DPR (BKD) benar-benar mengkaji substansi RUU ASN agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip otonomi daerah.
“Komisi II belum terima draft resmi. Karena itu, kami minta BKD lakukan kajian serius. Jangan sampai RUU ini malah bertabrakan dengan konstitusi,” ujar Zulfikar.
Zulfikar mengungkapkan, ada potensi perubahan besar, termasuk penyeragaman status ASN dan P3K serta pengalihan semua urusan kepegawaian ke pemerintah pusat.
“Proses rekrutmen tidak boleh ada lagi kategori selain ASN dan P3K. Kalau ada sebutan lain, harus ada sanksi. Dan wewenang daerah bisa didelegasikan ke pusat,” jelasnya.
Akademisi Kritik Minimnya Partisipasi Publik
Dari sisi akademisi, Agus Pramusinto mengkritik proses legislasi di DPR yang menurutnya kurang melibatkan masyarakat, termasuk dari kalangan perguruan tinggi.
“Sering kali tidak ada kajian serius. Yang terjadi, justru banyak ASN dan P3K direkrut dari kalangan sendiri—anak, saudara, teman dekat,” ujarnya.
Agus menambahkan, penerima beasiswa dan mereka yang punya prestasi justru sering tersingkir dalam proses rekrutmen yang tidak adil.
“Padahal banyak anak muda berprestasi yang layak jadi ASN, tapi kalah oleh sistem yang tidak transparan,” katanya.
Revisi UU ASN memang dibutuhkan, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan ASN. Tapi jika dilakukan tergesa-gesa tanpa kajian mendalam, justru bisa menimbulkan masalah baru. DPR, akademisi, dan publik perlu terlibat aktif agar perubahan ini benar-benar membawa perbaikan, bukan hanya formalitas.
(Anton)