SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Raksasa kedai kopi Starbucks mengumumkan rencana restrukturisasi besar senilai US$1 miliar (sekitar Rp16,7 triliun). Langkah ini akan berdampak pada penutupan lebih dari 100 gerai di Amerika Utara serta PHK terhadap sekitar 900 karyawan non-ritel.
Kebijakan ini diumumkan CEO Brian Niccol dalam program transformasi bertajuk “Back to Starbucks”, menyusul penurunan penjualan gerai sejenis selama enam kuartal berturut-turut akibat persaingan ketat dan konsumen yang semakin sensitif terhadap harga.
Rincian Biaya dan Dampak
Dalam dokumen ke otoritas pasar modal AS (SEC), Starbucks memproyeksikan jumlah gerai yang dikelola langsung di Amerika Utara akan turun 1% pada tahun fiskal 2025. Dari total 11.400 gerai yang ada per Juni lalu, dipastikan lebih dari 100 akan ditutup.
Starbucks memperkirakan 90% biaya restrukturisasi ditanggung unit Amerika Utara, terdiri dari US$150 juta untuk pesangon karyawan dan US$850 juta untuk biaya penutupan gerai.
Meski begitu, perusahaan masih menargetkan untuk menutup tahun fiskal dengan hampir 18.300 gerai di kawasan tersebut, termasuk yang dikelola melalui lisensi. Ekspansi baru direncanakan kembali pada 2026.
Janji ke Karyawan dan Serikat Pekerja
Bagi barista yang terdampak penutupan, Starbucks menjanjikan pemindahan ke gerai lain atau pemberian pesangon. Namun, serikat pekerja Starbucks Workers United, yang mewakili 12.000 barista di lebih dari 650 kafe, menegaskan akan menuntut perundingan resmi agar pekerja tetap bisa ditempatkan sesuai preferensi.
Transformasi Internal
Selain PHK, Starbucks juga melakukan perombakan internal, di antaranya:
- Mewajibkan karyawan kantor kembali bekerja dari kantor 4 hari sepekan mulai bulan depan.
- Merekrut sejumlah eksekutif baru, seperti CFO Cathy Smith, Global Chief Brand Officer Tressie Lieberman, dan COO Mike Grams.
Sebelumnya, pada awal 2025, Niccol juga sudah melakukan gelombang PHK pertama terhadap 1.100 pekerja korporasi.
Meski memangkas tenaga kerja, Starbucks tetap menyiapkan investasi besar pada standar operasional. Pada Juli lalu, perusahaan meluncurkan program “Green Apron Service” senilai US$500 juta untuk menambah jam kerja di gerai milik perusahaan selama setahun.
Pernyataan CEO
“Langkah-langkah ini untuk memperkuat apa yang sudah berjalan baik dan memprioritaskan sumber daya kami di sana,” kata Brian Niccol dalam suratnya kepada karyawan, dikutip CNBC International.
“Saya percaya langkah ini perlu untuk membangun Starbucks yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih tangguh, yang memberi dampak lebih luas pada dunia sekaligus menciptakan lebih banyak peluang bagi mitra, pemasok, dan komunitas.”
(Anton)