SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki memerintahkan Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, untuk mengundang sejumlah kalangan intelektual kampus dari UGM, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Indonesia, Ormas GP Ansor, dan Lembaga Survei Indonesa Burhanuddin Mustadi, termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, untuk menghadiri rapat atau kerennya FGD (Focus Group Discussion) di Ruang Rapat Utama, Gedung Bina Graha, untuk mencari rumusan tentang bagaimana upaya penanganan politisasi agama dalam politik, termasuk pengarus utamaan kepemimpinan Muslim.
Mengapa kini baru mulai mencari rumusan dari kalangan akademisi, untuk menghadapi arus politisasi agama yang sudah berlangsung lama, bahkan sebagai post factum atau fakta yang sudah berlalu?
Jelas ini membuktikan ketidakmampuan Kantor Staf Presiden (KSP) melakukan kerja politik untuk membantu Presiden, karena semakin hari justru makin membebani Jokowi, tegas Arief Puyouno, Waketum Partai Gerindra.
Berdasarkan catatan Wikipedia, politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.
Sementara Ali Maschan Moesa, dalam bukunya berjudul Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007), mengatakan, politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya, tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.
Agama sangat erat kaitannya dengan persoalan keimanan, ketakwaan, dan keyakinan kepada Tuhan. Agama tidak membeda-bedakan golongan politik. Agama meneguhkan aspek kepentingan abadi, yaitu keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun politik sangat erat kaitannya dengan persoalan kekuasaan yang bersifat sesaat.
Jika politik diperjuangkan untuk kepentingan agama, barangkali tidak akan menjadi masalah. Namun, jika agama dieksploitasi untuk kepentingan politik seperti penggunaan simbol-simbol agama dan ajaran agama hanya demi tujuan mencapai kemenangan politik, walhasil, pelecehan agama tidak bisa dihindari karena agama dieksploitasi terlalu jauh oleh kepentingan politik dan nafsu keserakahan. Akankah ini juga terjadi di Indonesia?
Jika kita tidak ingin hal itu terjadi, hendaknya para agamawan, ulama, ustaz, santri, atau apa pun namanya yang kini terlibat dalam percaturan politik tidak menyeret agama ke ranah politik sebagai strategi untuk memenangkan pasangan yang didukungnya.
Sedangkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan, berkaca dari Pilkada DKI Jakarta 2017 terjadi penyalahgunaan isu primordial dan agama, yang selanjutnya menjadi sebuah politisasi agama. Dirinya berharap hal ini tidak terjadi lagi di Pilkada 2018 dan pemilu serentak 2019 mendatang.
Pilkada 2018 mendatang akan diikuti oleh 171 daerah yang notabene lebih besar daripada Pilkada 2017. Syamsuddin memprediksi penggunaan politik identitas pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bakal menguat ketimbang Pilkada DKI 2017. Pasalnya, lebih mudah membakar emosi masyarakat untuk menggalang dukungan politik bila menggunakan politik identitas.
Menguatnya politik identitas, kata Syamsuddin, terjadi karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam upaya membangun bangsa. Sejak pemerintahan Bung Karno sampai Joko Widodo, pemerintah hanya terfokus pada pembangunan negara lewat pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Selalu diabaikan untuk soal pembangunan bangsa sampai sekarang.
Kita hanya sepakat pada level keindonesiaan itu basisnya keberagaman dan Pancasila. Dampaknya, kebangsaan berhenti sebagai komunitas yang hanya dibayangkan saja. Ia berharap penggunaan politik identitas dalam kampanye harus dihentikan dan dilawan. Selain membutuhkan kerja panjang untuk menjaga rasionalitas pemilih agar tidak terjebak dalam kampanye yang menggunakan politik identitas, tutup Syamsuddin Haris.
(ist/ tjo; foto ist