SUARAINDONEWS.COM, Jakarta Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr. Yenti Garnasih mengingatkan adanya potensi pidana yang bakal terjadi dalam Pilpres 2019 ketika terjadi calon tunggal. Bahayanya calon tunggal yang terjadi dalam pilpres dari sisi hukum pidana, yakni dikhawatirkan soal sumber dana pemilunya.
Yenti Garnasih khawatir Pemilu 2019 dan Pilpres akan marak money politics (politik uang). Dalam pemilu kepala daerah (Pilkada) serentak saja, sumber dananya sudah banyak bermasalah dan banyak kepala daerah yang menjadi tersangka. “Apalagi kalau dalam Pemilu 2019 dan Pilpres nanti diwarnai politik uang. Ngeri,” kata Yenti dalam diskusi bertema “Pilpres 2019 Terganjal Calon Tunggal?” yang digelar di Jakarta, Minggu (11/3/2018).
Yenti juga mengingatkan potensi aliran dana yang berasal dari transaksi narkoba. Di luar negeri terjadi dana dari transaksi narkoba mengalir ke Pemilu melalui partai politik. “Saya membacanya hal itu juga bisa terjadi di Pemilu Indonesia,” katanya.
Yenti tidak sepakat dengan istilah ‘mahar politik’ dalam pencalonan kepala daerah, karena itu adalah penghalusan bahasa. “Ini jelas penyuapan atau pemerasan alias kejahatan yang sifatnya negatif, kok dibilang mahar politik. Kalau Mahar politik itu maknanya positif,” sindir mantan anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Apalagi, lanjutnya, kalau uang yang dipakai untuk penyuapan tersebut adalah berasal dari hasil korupsi dan atau dari bisnis narkoba. “Pasti koruptor dan bandar narkoba nanti akan aman kalau yang terpilih jadi pemimpin adalah pihak penyuapnya,” beber pakar hukum pidana bidang ekonomi dan tindak pidana korupsi ini.
Dalam kesempatan sama penggiat anti korupsi Uchok Sky Khadafi berpendapat tak ada dukungan gratis terhadap capres dengan mengarahkan ke calon tunggal. Dia mencurigai para pimpinan parpol yang mendukung capres tunggal memperoleh ‘mahar politik’ alias suap dari pihak yang berkepentingan untuk menggolkan capres tunggal.
Apalagi lanjut Ucok, masing-masing partai sudah mengusulkan calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi capres petahana, Joko Widodo yang diperkirakan jadi capres tunggal dengan kalkulasi politik saat ini.
“Tidak ada dukungan gratis, Dalam deal politik pasti ada kepentingan, kalau tidak uang ya jabatan. Yang jelas, kalau jabatan (cawapres) terbatas (hanya satu). Jadi, saya curiga mereka dapat uang,” kata mantan Direktur Center for Budget Analysis (CBA) itu.
Karena itu lanjut Uchok, upaya capres tunggal lawan kotak kosong, harus ditolak masyarakat. “Semakin banyak capres, semakin demokratis, “ katanya.(Bams)