SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Konflik horizontal di lapangan menjadi perhatian serius Polri dalam menghadapi pilkada serentak tahap kedua pada 15 Februari 2017 mendatang. Banyak hal yang menjadi penyebab konflik pilkada di masyarakat yaitu provokasi melalui media sosial (medsos), juga massa bayaran yang dimobilisasi oleh pihak-pihak tertentu.
“Apalagi ada kompor dan koper. Jangan lupa, perusahaan penggerak massa bayaran itu banyak. Dan mereka itu selalu siap bergerak,” kata Analis Kebijakan Madya Divisi Humas Mabes Polri, Komisaris Besar Rikwanto dalam dialektika demokrasi ‘Ancaman Pidana dalam Media Sosial Jelang Pilkada Serentak 2017’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/9/2016).
Polri, menurut Rikwanto tekah menyiapkan ‘Cyber Patrol’ yang akan melacak dan menindak tegas penyebar kebencian dalam medsos tersebut walau menggunakan nama samara. “Prinsipnya Polri siap mengawal pilkada serentak di seluruh Indonesia, agar tidak terjadi kerusuhan dan konflik sosial. Hanya saja kalau ada pihak-pihak yang diragukan akan masuk ke delik aduan. Baik diadukan oleh yang bersangkutan maupun orang lain (pengacara, tim sukses dll),” imbuhnya.
Terkait medsos, Rikwanto mengatakan dalam menanganai persoalan ini jajaran Polri diminta tetap berpijak surat edaran (SE) No.6 tahun 2015 khusus untuk internal, yaitu agar polisi mempunyai pedoman menjelang pilkada. Semua unsur persoalan pilkada sudah diatur dalam SE tersebut mulai dari hatespeech (ujaran kebencian), SARA, kaum difabel (orang cacat), warna kulit dan sebagainya, sudah dipertimbangkan oleh kepolisian.
Sedangkan untuk aturan diatasnya, penanagan pilkada oleh Polri merujuk pada hukum positif dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan pasal 27 dan 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang ancamannya 6 tahun penjara. ”Tapi, aparat terlebih dahulu melakukan pendekatan mediasi, apakah pelanggaran hukum, berlanjut atau tidak, apa tujuannya, untuk menjatuhkan lawan?” katanya.
Rikwanto mengakui dampak medsos sangat luar biasa. Untuk mempengaruhi ribuan dan jutaan orang lain, kini tidak perlu lagi mengerahkan masyarakat ke lapangan seperti dulu. Tapi, cukup dengan medsos. Hanya saja dalam perkembangannya kebablasan. “Isinya menyudutkan, menyebarkan kebencian, fitnah, untuk menjatuhkan orang lain, dan sebagainya. Kalau itu dibiarkan, maka akan memicu konflik dan krusuhan sosial. Karena itu, perlu pengawasan agar demokrasi ini lebih bertmartabat,” katanya.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengungkapkan berbagai kalangan mengkhawatirkan terjadinya kampanye hitam (black campaigne), fitnah, menghasut, SARA, dan penyebaran kebencian untuk menyudutkan calon tertentu. Karena itu DPR RI meminta aparat penegak hukum, khususnya aparat kepolisian harus bertindak tegas terhadap siapapun yang melanggar.
“Jangan sampai ada pasal-pasal karet, sehingga polisi tidak bisa bertindak tegas. Sebab, dengan bertindak tegas itu akan mampu meminimalisir konflik sosial dan keresahan masyarakat. Seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dan daerah lain,” kata Masinton.
Direktur Eksekutif IndoBarometer, Muhammad Qodari mengakui saat ini terjadi lonjakan medsos yang luar biasa dan pengaruhnya sangat luas. Bahkan media konvensional (koran dan online) kalah pengaruh. Sebutlah triomacan, lambeturah, piyungan dan lain-lain, yang menjadikan motivator Mario Teguh sudah tidak ‘teguh’ lagi. Padahal semuanya tidak jelas. “Jadi, medsos itu asocial – anti social. “Saya khawatir dalam Pilkada 2017 ini terulang lagi,” ungkapnya.
Karena itu Qodari minta Polri melakukan antisipasi, simulasi, dan prosedur medsos secara dini serta bagaimana kinerjanya, mengingat ‘cyber patrol’ itu bekerja selama 24 jam. “Itu penting, karena Jakarta ini sebagai barometer bagi kelangsungan kebangsaan dan keadaban demokrasi nasional. Apalagi baru kali ini, Pilkada DKI Jakarta, dengan Cagub dengan latarbelakang yang berbeda,” kata Qodari.(EKJ)