SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Banyak orang masih menganggap profesi petani identik dengan penghasilan pas-pasan, panas-panasan, dan jauh dari kata “cuan”. Tak heran, anak muda sering lebih memilih kerja kantoran ber-AC ketimbang turun ke sawah. Tapi anggapan itu langsung runtuh di hadapan sosok Surendra Awana, seorang petani asal India yang sukses membuktikan bahwa bertani juga bisa tajir.
Lahir dari keluarga petani di Rajasthan, India, Awana justru berani melawan tradisi lama. Ia mengubah lahan warisan keluarga menjadi mesin cuan yang mampu menghasilkan 50 lakh rupee per tahun, atau setara hampir Rp1 miliar. Bukan sulap, bukan pula warisan mendadak—semuanya hasil dari strategi dan inovasi.
Selama bertahun-tahun, sistem pertanian tradisional sangat bergantung pada cuaca. Hujan telat, panen ikut telat. Hujan kebanyakan, tanaman bisa tenggelam. Kondisi inilah yang mendorong Awana berpikir, “Kalau begini terus, kapan majunya?”
Mengutip Krishi Jagran, Sabtu (13/12/2025), Awana kemudian mempelajari sistem Integrated Farming System (IFS) atau pertanian terintegrasi. Intinya, satu lahan tidak hanya diisi tanaman, tapi juga dikombinasikan dengan peternakan dalam satu ekosistem yang saling mendukung.
Di lahan seluas 55 acre, Awana membangun kandang sapi, menanam puluhan jenis tanaman, dan memelihara berbagai hewan ternak. Susu sapi dijual, sementara kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Limbah bukan dibuang, tapi diputar ulang jadi sumber daya.
Hasilnya? Lebih dari 42 varietas tanaman kini bisa dipanen secara maksimal. Hewan ternaknya pun bertambah, mulai dari kambing, domba, kuda, hingga unta. Iya, bertani rasa one stop farming solution.
Kesuksesan ini membuat Awana dilirik pemerintah setempat. Berbagai subsidi dan dukungan mengalir karena sistem pertaniannya dinilai efektif, berkelanjutan, dan jauh melampaui target produksi yang diharapkan.
Deretan penghargaan pun menyusul, mulai dari IAI-Fellow Farmer Award 2023, National Gopal Ratna Award 2021, hingga National Haldhar Organic Award 2019. Lengkap sudah, dari petani biasa jadi petani berprestasi nasional.
Dalam operasionalnya, Awana mencatat biaya bulanan sekitar Rp190 juta hingga Rp380 juta. Namun hasilnya sepadan. Keuntungan bersih per tahun bisa tembus Rp952 juta. Kalau ini masih disebut profesi “kecil”, mungkin definisinya perlu direvisi.
Yang menarik, Awana tak pelit ilmu. Ia aktif mengedukasi petani lain di sekitarnya agar berani beralih ke sistem pertanian terintegrasi. Bagi Awana, bertani bukan cuma soal untung, tapi juga soal berbagi dan keberlanjutan.
Selain menguntungkan secara ekonomi, sistem ini juga ramah lingkungan. Penggunaan pestisida dan bahan kimia ditekan seminimal mungkin. Limbah yang kembali ke tanah berasal dari bahan organik, sehingga tidak merusak ekosistem.
Kisah Surendra Awana membuktikan satu hal penting: bertani bukan soal tradisi semata, tapi soal strategi. Dan kalau dilakukan dengan cara yang tepat, sawah pun bisa jadi ladang masa depan—bahkan ladang miliaran.
(Anton)




















































