SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Hadirnya teknologi informasi di Industri Televisi dan Musik Indonesia, dalam kaitannya menghadapi Era Industri 4.0 tidak dapat terelakkan lagi. Oleh karenanya para pelaku di kedua industri ini (pertelevisian dan musik, red) tak saja dituntut melek terhadap perkembangan teknologi informasi yang ada, namun juga dituntut untuk bisa lebih kreatif lagi mengembangkan konten kontennya serta mem- branding khususnya jika berada di industri musik.
Demikian hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Akhir Tahun yang dihelat Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia di Studio of Star TVRI Pusat, Papa Rons Pizza, Jakarta (12 Desember dan 15 Desember), bertemakan Masa Depan Bisnis Industri Musik Digital di Era industri 4.0, dengan menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Agi Sugiyanto, CEO Pro Aktif; Naratama, Produser Voice Of America; Seno M.Hardjo, CEO Target Pop; Rummy Aziez, Produser Jagonya Musik & Sport (Partners Distribusi FC); dan Rahayu Kertawiguna, CEO Nagaswara Musik.
Diskusi Akhir Tahun Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia di Studio Star TVRI Pusat, Papa Rons Pizza, Jakarta (8 Desember dan 15 Desember), yang didukung oleh Nagaswara Musik, Ascada Musik, Pro Aktif, Humas TVRI, PT. Kino Indonesia Tbk, PT Mayora Indonesia Tbk, dan Papa Ron’s Pizza ini, menegaskan kembali bahwa penting menguasai Digital Marketing di era yang semakin cepat didalam satu genggaman tangan tersebut.
Seperti Agi Sugiyanto, CEO Pro Aktif, yang banyak mengangkat popularitas para penyanyi bergenre dangdut koplo, menyadari meski kerap blusukan ke berbagai daerah untuk menemukan talent talent baru di dunia musik dangdut serta lagu lagu dangdut yang diperkirakan bakal nge-hitz. Toh, tetap mensyaratkan artisnya untuk tidak ‘gagap teknologi’ khususnya di media sosial. Disamping tentunya suara yang enak di dengar dan wajah serta penampilan yang enak di pandang mata. Dengan kata lain, kalau cantik ya cantik sekalian, atau kalau tidak yaa sebaliknya, ungkap salah satu Pengurus PWI Pusat ini.
Sementara Rahayu Kertawiguna, CEO Nagaswara Musik, justeru mengingatkan peran pemerintah yang belum maksimal dalam mengurusi sektor industri musik Indonesia. Namun hebatnya industri musik Indonesia hingga sekarang masih bisa survive dengan caranya sendiri.
Dan belajar dari pengalaman mengurusi musik musik yang dianggap sampah serta menuai banyak kritikan oleh industri musik Indonesia saat itu, toh justru dengan kreatifitas menjelma menjadi genre bisnis baru house music, house remix house music international maupun koplo yang dapat memberi finansial tambahan. Dan Nagaswara musik lahir lewat musik musik semacam itu hingga mampu bertahan hingga kini.
Jadi, bila ingin bisa bertahan di era industri 4.0 pelaku industri musik yaa harus berani melakukan inovasi menghadirkan musik yang berbeda dengan cara yang berbeda. Karena peluang masih tetap terbuka mengikuti selera dan cara milenial memperolehnya, jelas Rahayu Kertawiguna lagi.
Sementara Rummy Aziez, Produser Jagonya Musik & Sport (Partners Distribusi FC), yang banyak melahirkan penyanyi dan musisi terbaik Indonesia, mulai dari Anggun C.Sasmi hingga Iwan Fals, tetap merasa optimis dengan hadirnya era industri 4.0 di industri musik Indonesia. Pasalnya, tinggal bagaimana caranya kita bereinovasi agar CD Fisik para penyanyi dan musisi yang bagus bagus itu bisa sampai ke tangan penggemar. Pemanfaatan media sosial sudah menjadi kebutuhan tapi pemanfaatan ruang lifestyle masyarakat penggemar makan ayam pun menjadi hal yang perlu diperhitungkan juga.
Jadi peluang itu tetap ada, meski era industri 4.0 terus merangsek. Bahkan Jagonya Musik dan Sport tengah membangun App’s Digital yang segera diluncurkan tahun 2019 mendatang, ungkap Rummy Aziez mengingatkan.
Sedangkan bagi, Seno M. Hardjo, CEO Target Pop bahwa mengikuti dan memfasilitasi para penyanyi dan musisi baru dengan lifestyle digital marketingnya sama pentingnya dengan menghadirkan musik musik berkualitas Indonesia dahulu dan nanti yang dikemas secara apik serta elegan. Hal tersebut lantaran musik merupakan sebuah gerak budaya yang sinergis di tengah tengah hadirnya musik musik digital. Jadi harus seimbang diantara keduanya.
“Kita harus jeli menyiasati, baik pendistribusian, packaging artist hingga pilihan lagu dan musiknya, sehingga keberadaan Target Pop tetap terus terjaga. Yakni, ikut berperanserta melestarikan musik dan Musisi legenda Indonesia. Dan terus ‘belajar’ memproduksi dan melebur dengan taste musik millenials,” jelas Seno, yang baru saja memproduksi Greatest Hits Hedi Yunus di Digital Sales seluruh dunia. Dimana sambutan millenials ada pada lagu dengan kemasan ringan. Lagu “Jika” yang popular oleh Melly & Ari Laso, kini kembali popular yang dinyanyikan ulang Hedi Yunus duet with singer 23 tahun, Sara Fajira. Terbukti dalam beberapa hari streaming listenernya sudah nyaris 50 ribu. Sementara lagu yang dikemas dengan live chamber oleh Tohpati “Sebatas Mimpi” baru menapak 5 ribu listener.
Bagi Naratama, Produser Voice Of America, yang tengah berkunjung ke Indonesia mengungkapkan untuk mulai membranding dirinya jika dia seorang penyanyi atau musisi dan selalu kreatif membangun konten kontennya jika dia berada di dunia pertelevisian. Bahkan Naratama mengakui meski ndustri musik secara fisik mengalami terjun bebas paska hadirnya musik pada dunia teknologi informasi, namun secara bisnis masih terbuka luas.
Karena di dunia musik barat, para penyanyi maupun musisinya sudah sadar akan pentingnya membranding diri lewat digital marketing atau melalui aplikasi aplikasi musik yang ada dan populer. Disamping tentunya tetap menjadi dirinya sendiri tanpa harus kelihatan kebarat baratan, selain memgembangkan komunikasi dengan komunitas komunitas masyarakat kita yang ada disana. Terbukti dua contoh Band Rumah Kaca dan Superman Is Dead bisa menembus pasar disana.
Begitu pula dengan dunia pertelevisian dewasa ini yang berkembang sangat pesat. Visual yang informatif dan padat menjadi faktor mutlak sebagai bagian dunia dalam genggaman kita. Bila perlu dalam satu menit tayangan kita mampu menghasilkan 5 informasi yang dibutuhkan masyarakat. Terus menerus meng-create konten tayangan menjadi kebutuhan yang mutlak.
Dan percepatan informasi lewat media sosial tak terelakkan lagi serta semakin penting keberadaannya. Tak heran bila VOA tak hanya menghadirkan tim wartawan serta wartawatinya saja tapi juga Tim Media Sosial- nya di semua tayangannya. Sebuah kebutuhan yang sudah tak dapat dihindari lagi di era ini.
Sutrisno Buyil Ketua Umum Forwan kepada sejumlah media berharap diskusi memberi pencerahan tidak saja pada anggota Forwan tapi juga masyarakat pelaku industri musik serta pertelevisian Indonesia. Diskusi ini sumbangsih kecil FORWAN Indonesia untuk kemajuan pertelevisian dan musik di era industti 4.0 ,” tutup Sutrisno Buyil.
(Ist; foto dok forwan