SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Pergeseran nilai budaya pasca pandemi Covid-19 dapat disejajarkan pengertiannya dengan “New Normal”, atau menjemput jaman yang lebih baik.
Agar lebih dimengerti oleh semua kalangan, pengertian yang sebenarnya adalah kebiasaan (habbit) yang dengan sengaja dilakukan agar mendapat manfaatnya. Begitu setidaknya menurut Dr Indira Santi Kertabudi MSi, Analis Kebijakan Madya Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhanas RI.
Dr Indira mencontohkan penerapan 3M. Budaya menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, masuk dalam birokrasi, merubah Renstra (rencana strategis), mengacu kepada Need (Kebutuhan yang diprioritaskan).
Dalam organisasi birokrasi lebih diterjemahkan pada flexibilitas yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan.
“Ini sangat penting dalam mengembangkan produktifitas sebagai progres pergeseran budaya yang berevolusi, yang memerlukan komponen-komponen yang kuat dan bertanggungjawab karena akan sangat berpengaruh terhadap seluruh kehidupan masyarakat dunia,” ujar tokoh wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) itu, di kawasan menteng, Jakarta Pusat, Jumat (4/12/2020).
Menurutnya, pergeseran tersebut berpengaruh kepada Demografi, Ekonomi, Law inforcement, Human resource, RENSTRA, Terorisme. Juga kejahatan Asimestris, Agama, Ras, Pengangguran Pariwisata, Transportasi dan Hoax.
Termasuk pula kejahatan transgender, kejahatan Cyber, kejahatan seperti pembobolan uang nasabah bank, sekarang ini lebih riskan kita dihadapkan dengan kondiri pandemi Covid- 19.
Hampir dari seluruh hamparan bumi yang terkena Covid -19 mengalami pergeseran budaya. Baik itu budaya kerja, budaya perdagangan atau e-commerce/market place/pasar mandiri.
Ini membutuhkan kesiapan dari human resource untuk aplikasinya serta mengeliminir dari segala permasalahan yang sedang kita alami bersama, juga terbentuk klaster masyarakat yang secara sporadis berubah cepat.
Tak hanya itu, ini juga menunjukan proses globalisasi tengah berproses. “Kita bersama-sama agar segera menyiapkan diri, baik itu sumber daya manusia yang disesuaikan dengan kompetensinya baik formal maupun tidak,” tuturnya.
Di lain pihak, pemerintah harus dengan segera membuat Renstra (rencana strategis pembangunan) yang disesuaikan dengan Kebutuhan (Need) disertai regulasinya. Karena disadari bahwa perkembangan jaman sudah menuntut kita untuk berinovasi, relevansinya dengan seluruh software, hardware, bramewhare pembangunan.
Di samping itu, menurutnya, material lain yang harus disikapi secara fokus dan serius adalah pengaruh dari pembangunan dan budaya yang sudah terlanjur terakses dan menggurita sebagai akibat mesin globalisasi. “Yang perlu kita sikapi adalah Covid- 19, Globalisasi, Perundungan, Kemiskinan, Kebodohan, Narkoba, Kejahatan IT, Terorisme, Alkulturisasi, itu semua disebut AGHT. (Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan), baik bersifat Intern maupun extern,” katanya.
Untuk menangkal hal tersebut di atas, lanjutnya, kita telah punya alat yang tangguh yaitu budaya dan keimanan yang sudah ditanamkan secara dini pada diri kita masing- masing oleh founding father dan para orangtua kita.
“Misalnya semua ajaran agama melarang berbuat jahat dan menuntun untuk berbuat kebaikan. Sedangkan budaya adalah alat melenturkan kita bermasyarakat seperti budaya gotong royong, tepo seliro, dan menanamkan suri tauladan,” tukasnya.
“Para Santri pun tidak hanya belajar soal surga dan neraka tetapi lebih mengimplemetasikan bahwa perlu adanya nilai keseimbangan atau eqiliubrium. Itu semua merupakan modal dasar bangsa indonesia untuk mempertahankan negara, kepercayaannya dan penduduknya, sehingga tercapai kesejahteraan. Ini semua telah tertuang pada nilai- nilai Pancasila dan Undang- undang Dasar 45,” pungkas Dr Indira Santi Kertabudi. Msi.(Doni S)