SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Penangangan kasus Tuberkulosis Sensitif obat (TB-SO) dengan menggunakan paduan obat antituberkulosis (OAT) standar selama enam bulan, terbukti merupakan strategi efekftif dalam penatalaksanaan penyakit ini. Meski demikian, sulit memastikan bahwa pasien taat menjalani pengobatan selama enam bulan. Padahal, hal tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan dan pencegahan terjadinya resistensi obat.
Dr.dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, baru-baru ini menemukan panduan OAT alternatif berdurasi lebih singkat dengan tetap mempertahankan effektivistasnya.
Hal ini, ujarnya, merupakan prioritas mengingat tingginya peningkatan kasus Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) yang mengancam kemajuan global dan nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030.
TBC RO atau TBC Kebal obat adalah keadaan seseorang terinfeksi jenis kuman atau pun bakteri TBC yang sama, namun sudah kebal terhadap obat TBC lini pertama. TBC RO tidak bisa diobati dengan TBC biasa, tetapi harus kombinasi obat atau OAT lini kedua.
“Kasus TBC RO terjadi karena pasien tidak teratur meminum OAT sesuai dengan panduan petugas kesehatan. Pasien menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktu yang ditentukan oleh dokter. Atau pasien mengalami gangguan penyerapan obat,” kata Erlina Burhan, di Gedung IMERI, FKUI, Salemba, Jakarta.
Dia menambahkan, di Indonesia, pada tahun 2021 estimasi TBC RO adalah 28.000 dengan rincian 2,2% berasal dari kasus baru dan 25% merupakan kasus pengobatan ulang.
Perkiraan insiden kasus ini adalah 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Adapun pada 2022, sekitar 12.531 pada TBC Rifampisin Resisten ditemukan dan dilaporkan secara nasional, dengan 8.089 (65%) pasien memulai pengobatan TB Lini kedua. Rendahnya angka inisiasi pengobatan TBC RO merupakan salah satu kendala utama dalam pengendalian TBC RO.
Dr. Erlina menyebutkan bahwa strategi pengobatan TRUNCATE-TB dengan menggunakan panduan OAT yang diperkuat selama dua bulan menunjukan noninferiotas dibandingkan dengan panduan pengobatan standar. Artinya, pemberian obat kepada pasien yang semula enam bulan, dapat dipersingkat menjadi 2 bulan.
Temuan ini membuka jalan baru untuk pengobatan TB-SO, terutama dengan penerapan penelitian operasional yang memberikan kesempatan untuk menghubungkan hasik uji klinis dan implementasi berbentuk program di dunia nyata.
“Evaluasi ini dapat memberikan wawasan berharga mengenai efektivitas, penerimaan dan keamanan dari strategi pengobatan ini sebagai langkah pembentukan program pemerintah yang diterima secara nasional. Selain itu, penelitian ini dapat membantu mengindentifikasi tantangan dan solusi potensial untuk meningkatkan ketaatan pengobatan dan memperbaiki hasil bagi pasien TB-SO,” tandas Erlina.
Sementara itu, terkait dengan pengendalian dan tata laksana TBC RO di Indonesia, salah satu kebijakan yang harus diterapkan adalah Tatalaksana TBC RO dengan pendekatan yang berpusat pada pasien (Patient-Centered Approach).
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh program TBC nasional, salah satu penyebab pasien tidak memulai pengobatan TBC RO ialah karena jarak fasilitas pelayanan kesehatan pengobatan TBC RO yang jauh dari tempat tinggal pasien. Oleh karena itu, layanan pengobatan TBC RO harus lebih diakses dan sedekat mungkin dengan pasien. (Ahmad Djunaedi)