SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pemerhati politik internasional dan isu-isu strategis Imron Cotan memandang perlu memitigasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi undang-undang yang mengatur batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
“Langkah mitigasi perlu diambil agar keputusan tersebut tidak berdampak lebih jauh dan mengakibatkan keresahan sosial,” kata Imron dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (17/10/2023) kemarin.
Menurut dia, putusan MK memicu banyak reaksi negatif dari masyarakat. Misalnya, Maklumat Juanda yang ditandatangani oleh lebih dari 200 tokoh, baik dari spektrum pendukung Presiden Jokowi maupun dari spektrum anti-Presiden Jokowi.
“Ini berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Jika itu terjadi, kita bisa mundur dari upaya kita menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya.
Imron menyarankan beberapa langkah mitigasi. Pertama, Presiden Jokowi sebaiknya tidak merestui Gibran maju sebagai bakal cawapres sebagai wujud dari sifat kenegarawanan. Kedua, Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena kesadaran bahwa masih perlu menyiapkan diri lebih matang lagi.
“Yang bersangkutan punya potensi besar. Jadi, jika Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena dia masih pemula, kekhawatiran atas masalah yang kita hadapi bisa dihindari,” kata Imron.
Langkah mitigasi ketiga, lanjut dia, adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengambil keputusan untuk mencalonkan Gibran karena para parpol yang tergabung dalam koalisi tersebut tidak mampu mencapai konsensus.
Ia memperkirakan tidak semua pimpinan parpol anggota KIM sepakat mengusung Gibran.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa MK sedang mendemonstrasikan suatu “kejahatan konstitusional”.
Hendardi melihat MK tidak lagi menegakkan konstitusi, tetapi mengakomodasi aspirasi aktor-aktor politik dalam keputusannya.
“Bukannya menjadi wasit yang adil dalam memeriksa perkara yang muncul, MK malah membuka diri untuk dipolitisasi dan mengakomodasi kepentingan politik, terutama yang berkaitan dengan aktor penguasa,” ucap Hendardi.
Hendardi mengemukakan bahwa MK telah mencapai titik integritas terendah dalam 20 tahun terakhir. Hal ini merupakan kali pertama hakim MK menyatakan ketidaksetujuannya secara terbuka dan tajam.
Hal itu ditunjukkan oleh Saldi Isra dan tiga hakim lain yang menyebutkan adanya irasionalitas dalam putusan MK setelah Ketua MK, yang juga adik ipar Jokowi, terlibat dalam pengambilan keputusan.
“Tidak perlu analisis rumit untuk menyimpulkan bahwa putusan MK ini dibuat demi Gibran yang meneruskan jejak politik ayahnya. Tidak ada presiden yang seaktif Presiden Jokowi dalam menyiapkan penggantinya selain Jokowi. Hal ini disebabkan bukan hanya oleh nafsu berkuasa, melainkan juga kecemasan Jokowi terhadap warisan buruk di banyak sektor,” ujar Hendardi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajudin Abbas berpendapat bahwa putusan MK ini berpotensi menjadi jebakan baik bagi Gibran maupun Presiden Jokowi karena mengusung gerakan yang antireformasi.
Sirajudin Abbas mengkhawatirkan Jokowi terlalu terbuka terhadap jebakan tersebut dengan mengindikasikan keterlibatannya dalam cawe-cawe pilpres.
“Semua tahu, sebagai eksekutif, presiden tidak boleh campur tangan dalam urusan yudikatif. Namun, semua juga menyadari bahwa MK saat ini cenderung berpihak pada partisipasi politik. MK menggunakan kekuatannya untuk mendukung kelompok politik tertentu, dalam hal ini memberi kesempatan bagi Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo,” kata Sirajudin.
Sirajudin melihat adanya resistensi yang kuat di tengah masyarakat. Menurut dia, gerakan moral yang muncul saat ini bisa memicu gerakan sosial yang lebih besar.
“Bisa jadi gerakan mahasiswa yang menolak nepotisme muncul kembali seperti pada era Reformasi. Besarnya gerakan ini sulit diprediksi, tetapi berpotensi meredusir tingkat ketidakpercayaan publik,” ujarnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa putusan MK meningkatkan apatisme masyarakat terhadap masalah-masalah kebangsaan.
Menurut dia, masyarakat mulai menggunakan istilah sak karepmu untuk menggambarkan manuver-manuver politik elite saat ini.
“Situasi seperti ini berisiko. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi, dan dalam jangka panjang, merugikan bagi Indonesia,” imbuhnya.
Mu’ti berharap resistensi tidak makin meluas dan berubah menjadi gerakan yang tidak terkendali.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan bahwa keputusan MK telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan politik jangka pendek.
“Keputusan ini berpotensi memengaruhi pandangan positif publik terhadap integritas MK dan Pemerintah,” pungkas Hery. (RED)