SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Penyakit Diabetes Mellitus atau diistilahkan DMT2 pada usia muda lebih bersifat progresif dan menyebabkan kejadian komplikasi kronik lebih dini. Kondisi ini dapat menurunkan produktifitas pada usia kerja dan meningkatkan beban kesehatan jangka panjang.
“Penyandang DMT2 dengan komplikasi membutuhkan biaya hingga 130% lebih tinggi dibandingkan penyandang DMT2 tanpa komplikasi,” kata Prof. DR.dr. Rr Dyah Purnamasari Sulistianingsih, Sp.PD, K-EMD kepada Suaraindonews.com, di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Sabtu (08/07/2023).
Ada beberapa faktor menurut Prof. Dyah, yang meningkatkan risiko individu mengalami DMT2 pada usia muda. Faktor tersebut meliputi obesitas, genetik dan epigenetik, gaya hidup tidak sehat, serta sosio-kultural.
Penelitian Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) menunjukkan prevalensi obesitas dengan indeks masa tubuh (IMT) lebih besar 25 kg/m, semakin meningkat, pada 2007 sebesar 19,1%, pada tahun 2913 sebesar 28,9% dan tahun 2018 sebesar 35,4%. Populasi Asia secara umum memiliki IMT yang lebih rendah dari ras lainnya, namun komposisi lemak tubuh dan lemak visceral cenderung lebih tinggi. Fenomena tersebut mendukung pengaruh faktor etnis terhadap kejadian penyakit kronis seperti DMT2.
Selain itu, faktor pola hidup dan sosio-kultural juga berkontribusi besar pada kejadian DMT2. Kejadian obesitas yang makin meningkat di Indonesia di antaranya dipengaruhi oleh pola makan dan aktvitas fisik yang kurang sehat. Berdasarkan data Rikesdas tahun 2018, prevalensi konsumsi makanan manis masyarakat Indonesia sebanyak satu hingga enam kali per minggu sebesar 47,8%, sedangkan prevalensi konsumsi manis sebanyak lebih satu kali per hari sebesar 61,3%. Sebanyak 33,5% masyarakat Indonesia dikategorikan ke dalam kelompok kurang aktif melakukan akivitas fisik.
“Salah satu populasi yang berisiko mengalami DMT2 ialah kerabat dekat atau kerabat kandung penyandang DMT2. Mereka juga berisiko mengalami DMT2 pada usia muda. Studi yang ada menunjukkan populasi kerabat dekat penyandang DMT2 memiliki gangguan fungsi, baik dari tingkat gen, organel, sel, maupun jaringan yang pada alkhirnya memengaruhi fungsi sistem organ yang lebih berat dan lebih dini,” ujar Prof. Dyah.
Dijelaskannya lebih jauh, berdasarkan penelitian yang dilakukan, kelompok anak kandung penyandang DMT2 usia muda yang sehat memiliki IMT, lingkar pinggang, dan resistensi insulin lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Populasi ini memiliki risiko lesi pengapuran pembuluh darah, perubahan hormon jaringan lemak, dan perlemakan hati lebih dini. Oleh karena itu, ujar Prof. Dyah, meskipun masih berusia muda dan tampak sehat, fungsi tubuh anak kandung penyandang DMT2 berbeda sehingga diperlukan usaha pencegahan lebih awal.
Lalu bagaimana pencegahannya? Dirinya menyarankan langkah preventif yang cepat, tepat, dan masif. Regulasi dan promosi mengenai batasan konsumsi gula harian, aktivitas fisik, dan deteksi dini gangguan metabolik perlu dilaksanakan untuk mencegah DMT2 pada usia muda.
“Implementasi regulasi yang ada memerlukan kerjasama dari pemerintah, orang tua, maupun pengasuh, guru dan lingkungan sekolah serta stakeholder. Pencegahan dengan pendekatan berbasis keluarga memegang peranan penting, dan ini dapat difokuskan pada kelompok berisiko seperi populasi anak kandung atau kerabat dekat,” ujar dokter Dyah.
Prof Dyah, menyebutkan bahwa empat puluh tahun yang lalu, diabetes mellitus yang diderita oleh pasien usia muda identik dengan Diabetea Mellitus Tipe 1 atau DMT1, sedangkan DMT2 lebih banyak diderita oleh pasien berusia 40 tahu ke atas. Akan tetapi, saat ini persepsi tersebut berubah. Seiring dengan peningkatan prevalensi diabetes mellitus di seluruh dunia, terdapat peningkatan prevalensi DMT2 bagi mereka yang berusia 15 hingga 39 tahun.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penyandang DMT2 terbanyak di dunia yang menduduki peringkat ke-5 teratas. Berdasarkan data dari Internasional Diabetes Federation (IDF) 2021, terdapat 19,5 juta penyandang DMT2 di Indonesia dengan proyeksi prevalensi yang terus meningkat sebesar 150% dalam dua dekade ke depan,” kata Prof Dyah, menutup pembicaraan. (Ahmad Djunaedi)