SUARAINDONEWS.COM, Jambi Jambi—Mengawali Tahun 2019, tokoh masyarakat Jambi Usman Ermulan memberikan catatan pemerintahan provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Fahcrori Umar sebagai Plt Gubernur mengantikan Zumi Zola yang tersandung kasus ‘ketok palu’ tahun 2018.
Usman menilai ekonomi Jambi hingga saat ini masih belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. Dalam kurun setahun terakhir nilai jual beli masyarakat dinilai belum mengairahkan seiring anjloknya harga komoditi unggulan petani, seperti karet dan sawit.
“Kita dikejutkan dengan OTT oleh KPK, sehingga membuat syok pejabat ditingkat provinsi dan sampai ketingkat kabupaten. Akibat dari itu tidak ada kegiatan yang mengangkat perekonomian rakyat Jambi ini,” ujar mantan DPR RI tiga priode ini, Rabu (2/1/2019)
Namun Usman berpandangan, saat ini harga komoditi sawit mulai menunjukan tren positif akibat penghapusan pungutan bea ekspor oleh Pemerintah Indonesia, sehingga dengan penghapusan tersebut berimbas kepada harga TBS itu sendiri. Namun, itu bukan lah program dari Pemerintah Provinsi Jambi.
“Karena baru-baru ini ada kebijakan pemerintah ada kenaikan sawit, dan itu bukan kebijakan Pemprov Jambi. Tetapi kebijakan pemerintah pusat dengan menghilangkan pungutan eksport itu,” jelasnya.
Sedangkan komoditi disektor karet terus-menerus mengalami penurunan harga sejak tiga tahun terakhir. Pada akhir Desember 2018 pemerintah melalui Disperindag mengumumkan indikasi harga karet kering (kk) 100 persen Rp 16.700 perkilo gram.
“Pemerintah menetapkan harga itu berdasarkan kalkulasi pasar global. Tetapi harga yang diterima oleh petani jauh dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah, “ kata mantan Bupati Tanjung Barat dua periode itu.
Usman berharap ada peran nyata dari pemerintah terhadap masyarakat Jambi yang mengantungkan nasibnya kepada pemerintah dalam mengatasi selisih harga yang cukup signifikan yang diterima oleh petani.
Berdasarkan data dilapangan, Usman mengatakan terakhir harga karet dengan indikasi KK 100 persen Rp.16.500 hanya diterima oleh petani sebesar Rp. 6.700 perkilo dan itu belum lagi adanya pemotongan kadar karet.
“Karet petani yang putih (kualitas bagus) itu dibeli 6700, itu dipotong lagi kotor 10 persen, berarti diterima berkisar 6200. Sedangkan harga karet yang disiapkan oleh perdagangan itu 16. 500 berarti selisihnya hampir 160 persen. Nah bagaimana pemerintah berusaha mengecilkan selisih ini,” katanya.
Salah satu solusi yang ditawarkannya untuk memanimalisir harga silih tersebut, pemerintah harus memberikan rekomendasi kepada pabrik agar dapat membeli langsung karet produksi petani. Sebab, selama ini masyarakat tidak dapat menjual hasil produksinya langsung kepabrik, tetapi melalui agen.
Usman menyarankan pemerintah melalui APBD kembali menganggarkan untuk meningkatkan kualitas hasil produksi petani, diantaranya memberikan bantuan bibit berkualitas, memberikan penyuluhan agar mendapatkan harga yang layak.
“Dari 16.500 mungkin dipotong 20 persen tinggal nilainya 80 persen masih juga sekitar 13 ribu. Bila pabrik beli 13 ribu petani bisa jual diatas 10 ribu, tetapi perkebunan harus bekerja menjelaskan getah itu tidak kotor dan sebagainya,” ujarnya.(Bams)